Oleh: Fitri Hadun, S. Pd
Pemerintah resmi menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen di tahun 2025. Mentri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto menyatakan bahwa kenaikan tarif pertambahan nilai (PPN) 12 persen demi membiayai makan bergizi gratis, program infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial, (beritasatu.com)
Pemerintah telah merancang beberapa kebijakan agar kenaikan PPN tidak berdampak buruk bagi ekonomi masyarakat.
Pemerintah akan memberikan bantuan pangan berupa beras kemasan, diskon 50% tarif listrik selama dua bulan, bantuan akses kemudahan jaminan kehilangan pekerjaan bagi pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dan bagi pelaku UMKM atau industri mendapat kompensasi PPh final 0,5% dari omzet sampai dengan 2025, percepatan program bansos seperti Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan sembako, dan bantuan makan bergizi gratis.
Suara Rakyat Diabaikan?
Kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ditolak oleh masyarakat. Masyarakat dari kalangan mahasiswa, akademisi, kelompok pecinta budaya Jepang (wibu) dan korea (K-popers) melakukan aksi damai di depan istana Negara, Jakarta Pusat dengan menyerahkan petisi yang telah ditandatangani lebih dari 113.000 orang secara online untuk menentang rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN).
Namun, respon dari Sekertaris Negara terkesan sebatas administratif (beritasatu.com. 20/12/2024) Kenaikan PPN tetap diberlakukan meski masyarakat telah menyatakan penolakannya, bukankah dalam demokrasi suara rakyat diatas segalanya?
Meski pemerintah memberikan batasan barang-barang yang terkena kenaikan PPN, termasuk barang yang termasuk bahan pokok tidak akan dikenakan. namun sejatinya kebijakan tersebut tetap memberatkan rakyat. Sebagaimana keterangan Ekonom sekaligus Direktur Riset Bright Institute, Muhammad Andri Perdana bahwa kebijakan baru ini berpotensi membuat beras—yang notabene barang pokok yang dikecualikan dari PPN—bakal dikenai PPN 12% jika berlabel “premium”. Begitu juga minyak goreng bermerek yang dijual di supermarket.
Selain itu, Andri memprediksi akan terjadinya pergeseran konsumsi bahan pangan kelas menengah ke bahan pangan non-premium, yang mengakibatkan kenaikan harga barang non-premium. Bahkan meski ada program bansos dan subsidi PLN, penderitaan rakyat tak terelakkan. Sebagaimana pandangan Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudistira bahwa ekonomi Indonesia dalam kondisi yang sangat buruk. Beberapa paket kebijakan ekonomi yang dibuat pemerintah tidak akan efektif mengurangi beban ekonomi yang ditanggung masyarakat dan pelaku usaha.
Hal itu karena kebijakan stimulus ekonomi untuk mengurangi dampak kenaikan PPN 12% hanya berlaku sementara, semisal diskon listrik yang berlaku 2 bulan pertama saja. Begitu pula dengan bansos yang mungkin hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sesaat. Setelah itu, semua kembali ke tatanan semula. Rakyat menanggung beban ekonomi yang berat akibat kenaikan PPN 12%. Di sisi lain, beban ekonomi yang lebih berat juga akan rakyat hadapi setelah penyaluran bansos dan subsidi berakhir, seperti kenaikan harga menjelang Ramadan dan hari raya.
Jadi, sebenarnya kebijakan pemberian bantuan ditengah kebijakan menaikkan PPN hanyalah kebijakan populis otoriter. Pemimpin tampil seperti pahlawan yang memberikan insentif dan bantuan layaknya obat pereda nyeri. Rasa nyerinya hilang, tetapi sakit yang sebenarnya belum diobati.
Dengan kata lain, menaikkan PPN 12% kemudian memberi solusi bansos serta subsidi di tengah penolakan rakyat. Pemimpin yang populis otiriter membuat kebijakan yang disukai masyarakat karena seolah-olah berpihak kepada rakyat kebanyakan, bukan pada elite ataupun pemerintahan. Namun, kebijakan tersebut sebenarnya justru mengakomodasi kepentingan para elite, terutama kaum pemodal (kapitalis) yang jumlahnya sedikit.
Hal ini terlihat juga saat pemerintah melakukan proyek strategis nasional dengan membangun infrastruktur besar-besaran, seolah hal itu sebuah prestasi yang membanggakan karena penguasa berhasil membuat jalan, bandara, kereta cepat, kawasan industri, dan sebagainya. Namun, proyek tersebut justru berpihak pada kepentingan kapitalis dengan jorjoran membuka investasi.Pemerintah merasa cukup sudah memberikan bansos, subsidi listrik, dan menetapkan barang-barang tertentu yang terkena PPN. Padahal kebijakan tersebut tetap membawa kesengsaraan pada rakyat. Inilah yang disebut sistem kapitalisme. Yang diuntungkan dalam sistem ini adalah para pemilik modal.
Apalagi, kebijakan makan bergizi gratis yang banyak mengundang kontra dikalangan masyarakat tentang keuntungan para kapitalis dibalik program tersebut. Demi, keuntungan para kapitalis, dibuat program makan bergizi gratis. Dan yang akan menanggungnya adalah masyarakat lewat pajak pertambahan nilai (PPN). Jadi, tetap saja dalam kebijakan ini pihak yang diuntungkan adalah para kapitalis.
Pemimpin Amanah Dalam Sistem Islam
Sangat berbeda dengan Islam. Penguasa dalam Islam harus menjadi raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung). Penguasa dalam Islam wajib mengurus rakyat dan mewujudkan kesejahteraan individu per individu. Dalam sebuah hadis, diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Imam itu adalah laksana penggembala dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya).” (HR Bukhari dan Ahmad dari Abdullah bin Umar ra.).
Islam menetapkan bahwa yang diangkat menjadi pemimpin harus memiliki kekuatan, ketakwaan, kelemahlembutan terhadap rakyat, dan tidak menimbulkan antipati. Dengan ketakwaan pemimpin kepada Allah maka ia akan takut kepada-Nya, dan selalu merasa terawasi oleh-Nya sehingga tidak akan berani membuat kebijakan yang menyusahkan rakyat. Selain itu, karena perintah Allah Taala maka ia akan bersikap lemah lembut dan tidak menyusahkan rakyat. Hal ini tercermin dari sabda Rasulullah.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Ya Allah, barang siapa memimpin umatku, lalu dia menyusahkan mereka maka susahkanlah dia. Barang siapa memimpin umatku, lalu dia bersikap lemah lembut terhadap mereka maka bersikaplah lemah-lembut terhadapnya.” (HR Muslim) (Taqiyuddin an-Nabhani, Syakhshiyah Islamiyah, Juz II, hlm. 158)
Selain sikap mulia pemimpin dalam Islam. Negara memiliki sumber pendapatan yang kuat sehingga tidak akan memberatkan rakyat dengan pajak. Dalam kitab An-Nizham al-Iqtishady fi Al-Islam yang ditulis oleh Taqiyuddin an-Nabhani, dijelaskan bahwa sumber pemasukan tetap baitulmal (kas negara) adalah fai, ganimah, anfal, kharaj, jizyah, dan pemasukan dari hak milik umum yang menyangkut sumber daya alam dengan berbagai macam bentuknya, pemasukan dari hak milik negara, usyur, khumus, rikaz, tambang, serta harta zakat. Hanya saja, harta zakat diletakkan di bagian khusus baitulmal serta tidak diberikan selain untuk delapan ashnaf (golongan) yang telah disebutkan di dalam Al-Qur’an dan tidak sedikit pun dari harta zakat tersebut boleh diberikan kepada selain delapan ashnaf tersebut, baik untuk urusan negara maupun urusan umat.
Sedangkan harta-harta lain yang merupakan hak baitulmal diletakkan di baitulmal dengan harta lain, serta dibelanjakan untuk urusan negara dan urusan umat, serta delapan ahsnaf dan apa saja yang menjadi pandangan negara. Apabila harta-harta ini cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat maka cukup dengan harta tersebut. Apabila tidak, negara harus mewajibkan pajak (dharibah) untuk menunaikan tuntutan dari pelayanan urusan umat. Dengan demikian, pajak diambil hanya ketika kas negara (baitulmal) benar-benar kosong dan digunakan untuk pengeluaran wajib dari baitulmal. Penarikan pajak (dharibah) dalam Islam bersifat temporal, bukan menjadi agenda rutin seperti halnya pajak di sistem kapitalisme saat dan pajak dalam Islam hanya untuk masyarakat kaya.
Demikianlah, Islam memberikan gambaran kepemimpinan yang amanah adalah mengurus dan menjamin terpenuhinya kebutuhan rakyat, meringankan beban mereka, dan membantu mereka jika mengalami kesulitan ekonomi. Negara dalam Islam juga menjadikan syariat sebagai aturan dalam ekonomi yang memiliki pemasukan yang diambil dari banyak sektor. Dalam sistem Islam , pajak tidak menjadi sektor atau pilihan utama sebagai sumber pemasukan negara. Kepemimpinan dan sistem Islam akan melahirkan kebijakan yang mengutamakan kepentingan dan kemaslahatan rakyat. Sudah saatnya negeri ini menjadikan Islam sebagai landasan dalam memilih pemimpin dan dalam mengatur ekonomi termasuk untuk mengatur lini kehidupan lainnya sehingga dapat membawa kebaikan bagi kehidupan masyarakat. (*)