Banggaikece.id- Aparatur desa, yang meliputi kepala desa, sekretaris desa, pelaksana kewilayahan, dan pelaksana teknis, dilarang keras terlibat dalam politik praktis.
Larangan ini diatur dalam berbagai regulasi, termasuk Pasal 280, Pasal 282, dan Pasal 494 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, serta UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pelanggaran terhadap aturan ini dapat dikenakan sanksi pidana berupa kurungan hingga satu tahun dan denda maksimal Rp12 juta.
Namun, di Desa Toima, Kecamatan Bunta, dugaan pelanggaran muncul. Menurut Riki Pratama, masyarakat Desa Toima, oknum kepala dusun di wilayah tersebut, inisial GL yang menjabat sebagai Kepala Dusun 2, diduga meminta KTP warga dan menjanjikan uang sebagai imbalan untuk mendukung salah satu pasangan calon tertentu.
“Kadus datang ke rumah warga untuk meminta KTP dengan janji memberikan uang demi mendukung paslon tertentu. Namun, hingga kini, janji tersebut tidak ditepati,” ujar Riki Pratama.
Ia menambahkan, tindakan tersebut tidak hanya mencederai netralitas aparatur desa tetapi juga melanggar aturan hukum yang berlaku. Riki mendesak agar Gakkumdu (Sentra Penegakan Hukum Terpadu) segera memeriksa kepala dusun terkait dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
“Larangan keterlibatan aparatur desa dalam politik praktis sudah jelas. Perangkat desa harus netral, tidak boleh menjadi pengurus partai politik, tim kampanye, atau tim sukses. Saya meminta agar hukum ditegakkan dan kepala dusun memahami aturan yang ada,” tegas Riki.
Sebagai informasi, netralitas aparatur desa bertujuan untuk menghindari konflik kepentingan yang dapat mengganggu pelayanan masyarakat. Pelibatan perangkat desa dalam politik praktis juga dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakadilan dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah desa.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada tanggapan resmi dari kepala dusun maupun pihak terkait lainnya. Namun, masyarakat berharap agar persoalan ini segera diselesaikan sesuai hukum yang berlaku. (*)