Oleh: Hanif Rafif (Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang)
Kasus kekerasan seksual terus menjadi persoalan serius di Indonesia. Tantangan ini memerlukan solusi nyata dari pemerintah dan masyarakat untuk mengurangi jumlah kasus, melindungi korban, serta mencegah kekerasan seksual di masa mendatang. Bentuk kekerasan seksual sangat beragam, seperti pemerkosaan, pelecehan fisik, menguntit, hingga pelecehan berbasis gender lainnya. Meskipun perempuan dan anak-anak menjadi kelompok yang paling rentan, siapa pun bisa menjadi korban tindakan keji ini.
Menurut data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), pada periode Januari–Juni 2024 tercatat 7.842 kasus kekerasan terhadap anak, dengan 5.552 korban perempuan dan 1.930 korban laki-laki. Kekerasan seksual menjadi kasus terbanyak sejak 2019 hingga 2024. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menunjukkan pada 2023 terdapat 29.883 kasus kekerasan terhadap perempuan, meningkat 4,4% dibandingkan tahun 2022. Dalam lima tahun terakhir, kasus ini melonjak 53%, menunjukkan urgensi penanganan yang lebih serius.
Kekerasan seksual bukan hanya tindak pidana, tetapi juga pelanggaran berat terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Tindakan ini mencoreng harkat dan martabat manusia, terutama perempuan, dengan dampak fisik, seksual, hingga psikologis yang mendalam. Pelanggaran berbasis gender ini sering kali diiringi ancaman, paksaan, dan pembatasan kebebasan.
Peran Generasi Muda
Sebagai aset berharga bangsa, generasi muda memiliki peran strategis dalam memerangi kekerasan seksual. Pemuda adalah agen perubahan, pembangunan, dan pembaruan yang membawa harapan bagi kemajuan bangsa. Untuk menjalankan peran ini, generasi muda perlu memahami dan menerapkan nilai-nilai yang diajarkan dalam pendidikan kewarganegaraan.
Pendidikan kewarganegaraan bertujuan membentuk karakter bangsa yang cerdas, aktif, kritis, demokratis, dan bertanggung jawab. Selain itu, pendidikan ini membangun warga negara yang berkomitmen menjaga persatuan, toleransi, dan kedaulatan bangsa. Konsep ini sangat relevan dalam menghadapi isu kekerasan seksual karena dapat menjadi landasan bagi generasi muda untuk bertindak sebagai agen perubahan sosial.
Kontribusi Nyata Generasi Muda
Dengan bekal pendidikan kewarganegaraan, generasi muda dapat memberikan kontribusi nyata dalam memerangi kekerasan seksual, antara lain:
- Kampanye Sosial
Pemuda dapat terlibat dalam kampanye melawan kekerasan seksual melalui media sosial, seminar, dan diskusi publik untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. - Pendampingan Penyintas
Generasi muda, terutama mahasiswa, dapat berperan aktif dalam mendampingi penyintas kekerasan seksual, memberikan dukungan moral, dan membantu proses hukum. - Edukasi Masyarakat
Dengan kreativitasnya, pemuda bisa menyampaikan edukasi tentang kekerasan seksual melalui pendekatan yang relevan dengan perkembangan zaman, seperti konten digital, video animasi, atau workshop. - Inovasi Teknologi
Pemuda dengan keahlian teknologi dapat menciptakan aplikasi yang mempermudah pelaporan kekerasan seksual secara aman dan menjaga kerahasiaan identitas korban.
Pendidikan sebagai Pondasi Utama
Pendidikan adalah fondasi utama dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Semakin tinggi kualitas pendidikan generasi muda, semakin besar kontribusi mereka dalam pembangunan bangsa. Dengan menanamkan nilai-nilai pendidikan kewarganegaraan, generasi muda dapat menjadi pelopor perubahan sosial yang signifikan.
Melalui pendidikan kewarganegaraan, generasi muda tidak hanya berperan sebagai pelopor, tetapi juga mitra strategis pemerintah dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil, bebas dari kekerasan seksual, dan menghargai hak asasi manusia. Dengan sinergi antara pemuda, pemerintah, dan masyarakat, cita-cita untuk memerangi kekerasan seksual dan menciptakan lingkungan yang aman bagi semua dapat tercapai. (*)