Oleh: Fini Sulila, A.Md.Kom
Pendidikan adalah kunci utama dalam kemajuan sebuah bangsa. Melalui pendidikan, potensi manusia dapat dikembangkan, karakter terbentuk, dan keterampilan diasah, menjadikan individu mampu berkontribusi pada masyarakat dan negara. Namun, di Indonesia, realitas dunia pendidikan masih jauh dari harapan.
Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, dalam keterangan tertulisnya pada Kamis, 6 Maret 2025, menyatakan, “Terjadinya disparitas lama bersekolah masyarakat di Tanah Air harus segera diatasi sebagai bagian dari upaya memberikan layanan pendidikan yang merata bagi setiap warga negara.”
Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2024 menunjukkan bahwa hanya 30,85% penduduk Indonesia berusia di atas 15 tahun yang memiliki ijazah SMA atau sederajat. Rata-rata lama sekolah untuk penduduk usia 15 tahun ke atas hanya mencapai 9,22 tahun, setara dengan kelas 9 atau lulus SMP. Bahkan, disparitasnya sangat mencolok, dengan DKI Jakarta mencatat rata-rata lama sekolah 11,5 tahun (tidak lulus SMA), sementara Papua Pegunungan hanya mencapai 5,1 tahun (tidak lulus SD).
Pemerintah memang telah meluncurkan berbagai program untuk meningkatkan akses pendidikan, seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP), sekolah gratis, dan berbagai bentuk bantuan lainnya. Namun, kenyataannya, banyak masyarakat yang masih sulit mengakses pendidikan berkualitas, terutama di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar). Belum lagi berbagai kasus penyelewengan dana, seperti korupsi pada program KIP dan dana BOS, yang memperburuk situasi ini.
Masalah ini diperparah oleh sistem kapitalisme yang menjadikan pendidikan sebagai komoditas. Swastanisasi, biaya mahal, ketimpangan akses, dan kurikulum yang berorientasi pasar menciptakan generasi yang cemas akan masa depan, bukan generasi emas yang mampu bersaing secara global. Pendidikan seakan berubah menjadi alat untuk mencetak tenaga kerja murah, bukan hak dasar rakyat. Efisiensi anggaran yang terus ditekan hanya memperburuk kondisi ini.
Sebaliknya, dalam Islam, pendidikan dipandang sebagai hak dasar setiap individu, bukan sekadar alat untuk memenuhi kebutuhan pasar. Negara berperan aktif dalam memastikan seluruh rakyatnya mendapatkan pendidikan yang layak, tanpa terkendala biaya. Dengan dukungan baitul mal yang kokoh, pendidikan dapat diberikan secara gratis tanpa memandang status sosial atau ekonomi seseorang. Pendidikan dalam Islam tidak hanya berfokus pada keterampilan teknis, tetapi juga pada pembentukan karakter dan akhlak yang mulia.
Islam juga memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana pendidikan, sehingga tidak ada ruang untuk korupsi atau penyalahgunaan anggaran. Di masa Khalifah Umar bin Khattab, misalnya, guru digaji hingga 15 dinar per bulan, setara dengan sekitar 33 juta rupiah saat ini, jauh lebih tinggi daripada upah guru di banyak negara Muslim saat ini.
Generasi emas hanya akan lahir dari peradaban gemilang yang menjadikan Islam sebagai dasar pendidikan. Generasi ini akan memiliki karakter kuat, berilmu, dan berakhlak mulia, tidak hanya mengincar keuntungan duniawi tetapi juga memahami tanggung jawab akhirat. Mereka akan mampu menghadapi tantangan zaman dengan pengetahuan yang luas dan moral yang teguh, sebagaimana ilmuwan besar seperti Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, dan Jabir ibn Hayyan yang mewarnai sejarah peradaban Islam selama 13 abad.
Pendidikan semacam inilah yang mampu melahirkan generasi emas, bukan generasi cemas, yang siap membangun peradaban besar di masa depan. (*)




