Oleh Mukriman Y. Latta, (Peserta LK III Badko HmI Sulteng 2025)
Islam sebagai ajaran memiliki dua dimensi utama, yaitu dimensi doktrinal, yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits, serta dimensi historis, yang mencerminkan perjalanan peradaban manusia dalam memahami dan menerapkan Islam. Dari kedua dimensi ini, pemahaman Islam berkembang menjadi dua pendekatan utama: tekstual dan kontekstual.
Pendekatan tekstual menekankan Islam sebagai seperangkat norma yang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk akidah, akhlak, dan muamalah. Sementara itu, pendekatan kontekstual melihat ajaran Islam dalam dinamika sejarah, politik, ekonomi, dan sosial, sehingga lebih adaptif terhadap perubahan zaman.
Dinamika Pemahaman Islam di Indonesia
Di Indonesia, pemahaman terhadap Islam dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori besar:
1. Kelompok Formalistik
– Berupaya mewujudkan Islam dalam institusi politik dan menerapkan hukum Islam secara resmi dalam pemerintahan.
2. Kelompok Substansialistik
– Menekankan nilai-nilai Islam tanpa harus diinstitusionalisasikan dalam kebijakan negara.
3. Kelompok Fundamentalis
– Cenderung eksklusif dalam memahami Islam serta sering kali menolak pluralitas dan modernitas.
Salah satu contoh nyata dari perbedaan ini adalah penerapan syariat Islam di Aceh. Sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang secara resmi menerapkan hukum syariat, Aceh menjadi studi kasus dalam implementasi pendekatan formalistik dalam pemerintahan. Namun, kebijakan ini juga mendapat kritik dari kelompok substansialistik, yang menilai bahwa regulasi tersebut kurang memperhatikan keberagaman sosial dan hak asasi manusia.
Oleh karena itu, untuk memastikan bahwa keberagaman pemahaman Islam tidak menjadi sumber konflik, pemerintah harus mengambil langkah-langkah strategis yang mengakomodasi berbagai kepentingan dalam masyarakat.
Rekomendasi Kebijakan
1. Dialog Inklusif dan Moderasi Beragama
– Pemerintah perlu menginisiasi dialog antara berbagai kelompok Islam untuk menciptakan kesepahaman dan mencegah konflik ideologis.
– Pendidikan Islam di lembaga pendidikan harus menekankan pentingnya moderasi beragama agar pemahaman yang berkembang tidak bersifat eksklusif atau ekstrem.
2. Regulasi yang Seimbang
– Kebijakan negara harus adil dan tidak berpihak pada satu kelompok tertentu, agar tidak memperburuk perpecahan dan menimbulkan ketidakpuasan di masyarakat.
3. Pemberdayaan Ekonomi yang Inklusif
– Radikalisme sering kali tumbuh di lingkungan yang mengalami ketidakadilan ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah perlu mendorong kebijakan ekonomi yang lebih adil dan merata agar masyarakat lebih fokus pada pembangunan sosial ketimbang konflik ideologis.
4. Pengawasan dan Deradikalisasi
– Pemerintah harus bersikap tegas terhadap kelompok yang menyebarkan intoleransi, sambil menyediakan program deradikalisasi bagi individu yang rentan terhadap pemahaman ekstrem.
Dengan kebijakan yang inklusif dan strategis, Islam dapat terus menjadi pedoman bagi umat Muslim di Indonesia tanpa menimbulkan perpecahan sosial. Harmoni dalam keberagaman pemahaman Islam dapat menjadi dasar bagi masyarakat yang lebih damai, toleran, dan sejahtera. (*)




