Banggaikece.id – Tanah bersertifikat milik warga Desa Tohiti Sari diduga diserobot oleh warga dan Pemerintah Desa Dongin, hanya bermodal kesepakatan tapal batas wilayah antara kedua desa. Tanah tersebut kini diklaim sebagai bagian dari wilayah Desa Dongin meskipun sertifikat tanah tercatat beralamat di Desa Tohiti Sari.
Hal ini diungkapkan oleh mantan Kepala Desa Dongin, Asgap Abdullah. Menurutnya, klaim tersebut didasarkan pada kesepakatan yang mengacu pada peta transmigrasi tahun 1983.
“Berdasarkan kesepakatan yang ditandatangani kepala desa Dongin dan Tohiti Sari, tapal batas mengikuti peta transmigrasi tahun 1983, di mana wilayah Lopon dan sekitarnya masuk ke Desa Dongin. Sementara itu, sertifikat tanah beralamatkan Tohiti Sari,” ujar Asgap.
Tak hanya mengklaim, pemerintah Desa Dongin juga menerbitkan SKPT (Surat Keterangan Penguasaan Tanah) di atas sebagian lahan yang sudah bersertifikat dan membagikannya kepada warga. Ironisnya, tanah tersebut tidak digarap, tetapi dijual kepada pengusaha sawit asal Unit 10 dan kini telah ditanami kelapa sawit.
Kondisi ini membuat resah warga Tohiti Sari yang memiliki sertifikat sah atas tanah tersebut. Bahkan sebagian tanah telah diolah menjadi sawah oleh warga setempat.
“Kami sangat kecewa dan resah karena tanah yang sudah bersertifikat atas nama kami tiba-tiba diambil alih dan kini telah ditanami sawit. Kami berharap pemerintah, khususnya BPN, dapat memberikan penjelasan dan menyelesaikan masalah ini. Kami adalah pemilik sah dengan bukti sertifikat,” ujar salah satu warga pemilik lahan yang enggan disebutkan namanya.
Menanggapi hal ini, Kepala Desa Tohiti Sari, Akhadun, menegaskan bahwa kesepakatan tapal batas antara Desa Dongin dan Tohiti Sari hanya mengatur batas wilayah administrasi dan tidak menghapus hak kepemilikan atas tanah yang telah bersertifikat.
“Kesepakatan tapal batas itu hanya untuk penetapan administrasi wilayah, tanpa menghilangkan hak milik tanah yang telah bersertifikat. Jika ada tanah bersertifikat yang masuk ke wilayah Dongin, itu tetap menjadi milik pemegang sertifikat. Perbedaannya hanya terkait administrasi, seperti pembayaran pajak,” jelas Akhadun.
Hal senada disampaikan oleh mantan Kepala Desa Tohiti Sari, Teguh Budianto. Ia menegaskan bahwa kesepakatan tapal batas tidak pernah bermaksud menghapus hak tanah bersertifikat.
“Luas tanah bersertifikat yang masuk ke wilayah Dongin akibat kesepakatan tapal batas sekitar 400 hektar. Sertifikat tersebut diterbitkan berdasarkan rekomendasi Bupati Yusuf Suparjan kala itu, dan penerbitannya sudah melalui proses resmi oleh BPN. Sertifikat itu telah disahkan oleh pengadilan dan posisinya sangat kuat,” jelas Teguh.
Ia juga menunjukkan bahwa dokumen induk kepemilikan sertifikat masih tercatat dengan lengkap.
Kasus ini kini menjadi perhatian serius masyarakat Tohiti Sari, yang berharap pihak terkait segera turun tangan untuk menyelesaikan masalah tersebut demi mengembalikan hak kepemilikan mereka. (*)




