NewsOpini

Dari Tanah yang Digali ke Kepala yang Ditanam — Anak Muda dan Api yang Hampir Padam.

2220
×

Dari Tanah yang Digali ke Kepala yang Ditanam — Anak Muda dan Api yang Hampir Padam.

Sebarkan artikel ini

Oleh: Dandi Abidina, S. Sos

Anak muda hari ini hidup di dunia yang bergerak terlalu cepat. Di satu sisi, mereka menjadi simbol harapan perubahan. Di sisi lain, mereka mewarisi krisis yang tak mereka ciptakan krisis iklim, krisis ekonomi, dan krisis kepercayaan pada masa depan. Laporan United Nations World Youth Report 2024 mencatat, lebih dari 70 persen generasi muda global merasa masa depan mereka terancam oleh kerusakan lingkungan dan ketimpangan ekonomi yang makin parah.

Dari Stockholm sampai Jakarta, dari New York sampai Banggai, suara anak muda menggema dengan pesan yang sama: bumi sedang sakit, dan masa depan mereka ikut terancam. Gerakan seperti Fridays for Future dan Youth Climate Strike menunjukkan satu hal: kesadaran ekologis kini bukan sekadar isu lingkungan, melainkan isu keadilan lintas generasi. Mereka menuntut transformasi dari ekonomi ekstraktif menuju ekonomi yang berkelanjutan, dari budaya mengeruk alam menuju budaya menanam pengetahuan.

Namun di Indonesia, mimpi itu masih terbentur realitas lama. Negeri yang dikaruniai tambang, minyak, dan gas ini masih terjebak dalam paradoks klasik: kaya sumber daya, miskin sumber daya manusia. Data Badan Pusat Statistik tahun 2024 menunjukkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia baru mencapai 73,6 angka yang tertinggal dari Malaysia (81,3) dan Thailand (80,1) menurut UNDP Human Development Report 2024.

BACA JUGA:  Kades Tirta Sari Serahkan Sertifikat Elsimil di Hari Bahagia Indriani dan Indrawan

Ironisnya, pada saat yang sama, nilai produksi nikel nasional tahun 2023 mencapai Rp 510 triliun (Kementerian ESDM). Tapi sebagian besar kekayaan itu berhenti di pusat kekuasaan dan di rekening korporasi. Hanya sedikit yang kembali ke masyarakat dalam bentuk pendidikan. Padahal, bila hanya satu persen saja dari nilai produksi nikel dialihkan ke dana pendidikan nasional, akan terkumpul lebih dari Rp 5 triliun per tahun cukup untuk membiayai ratusan ribu beasiswa di daerah penghasil tambang.

Paradoks itu paling terasa di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah wilayah yang kini menjadi jantung ekonomi ekstraktif di timur Indonesia. Berdasarkan data Kementerian ESDM (2023), terdapat 21 izin usaha pertambangan (IUP) nikel dengan luasan mencapai 61.752 hektare. Produksi tahunannya menembus 2,6 juta metrik ton. Dari situ, Banggai menerima Dana Bagi Hasil (DBH) Minerba sebesar Rp 99,36 miliar pada 2023 (sumber: Kemenkeu DJPK 2024).

Namun, kekayaan yang menggembung di kas daerah belum menjelma menjadi kemajuan pendidikan. Menurut BPS Kabupaten Banggai (2024), hanya 6,97 persen penduduk berpendidikan tinggi (S1 ke atas). Dari setiap seratus orang Banggai, kurang dari tujuh yang menamatkan universitas. Sebuah ironi di tengah gunungan nikel yang terus dikirim keluar daerah.

BACA JUGA:  Persik Kintom & Dynamites FC Amankan Tiket Terakhir ke Semifinal Piala Hari Pahlawan U-17 2025

Beberapa perusahaan seperti PT Donggi-Senoro LNG (DSLNG) memang menyalurkan program beasiswa dan CSR pendidikan. Tapi jumlahnya masih terlalu kecil dibandingkan nilai eksploitasi yang terjadi. Selama kebijakan publik belum menempatkan pendidikan sebagai kompensasi moral atas ekstraksi sumber daya, ketimpangan ini akan terus berulang.

Banggai sebenarnya punya peluang untuk memutus lingkaran itu. Dengan DBH Minerba hampir Rp 100 miliar per tahun, pemerintah daerah bisa membentuk Banggai Education Fund, dana abadi beasiswa berbasis sumber daya alam. Prinsipnya sederhana: setiap ton nikel yang diambil dari bumi, sebagian nilainya harus dikembalikan ke kepala generasi muda. Pendidikan bukan sekadar bantuan sosial, melainkan investasi moral jangka panjang.

Spirit inilah yang sejatinya menyambung semangat Sumpah Pemuda 1928. Dulu, anak-anak muda mengikrarkan satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Kini, anak muda harus menambahkan satu ikrar baru: satu sumber daya, satu tanggung jawab, satu masa depan. Nasionalisme abad ke-21 bukan hanya cinta pada tanah air, tapi juga pada akal yang tumbuh di atasnya.

BACA JUGA:  12 Peserta Asal Banggai Ikuti Ujian Profesi Advokat Serentak PERADI

Jika pendidikan menjadi jantung dari pengelolaan sumber daya, maka Banggai bisa menjadi model baru pembangunan berbasis keadilan ekologis. Di sana, tambang tidak lagi menjadi simbol ketimpangan, tapi sumber harapan. Karena pada akhirnya, kekayaan sejati bukanlah apa yang kita gali dari tanah, melainkan apa yang kita tanam di kepala generasi berikutnya.

Daftar Sumber Referensi
1. United Nations. (2024). World Youth Report 2024: Youth and Climate Justice. UN Publications.
2. United Nations Development Programme (UNDP). (2024). Human Development Report 2024.
3. Badan Pusat Statistik (BPS). (2024). Indeks Pembangunan Manusia 2024.
4. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). (2023). Data Minerba Nasional.
5. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan RI. (2024). Realisasi DBH Minerba 2023.
6. BPS Kabupaten Banggai. (2024). Kabupaten Banggai Dalam Angka 2024.
7. PT Donggi-Senoro LNG. (2023). Laporan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (CSR Report 2023).