Oleh: Risno Mina SH., MH., (Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Luwuk)
Di beberapa kawasan di pusat pemerintahan Kabupaten Banggai, belakangan ini tampak fenomena yang menimbulkan keprihatinan publik, yakni penebangan deretan pohon peneduh yang selama ini tumbuh di sepanjang jalan utama kota.
Penebangan tersebut dikaitkan dengan rencana pembangunan sistem drainase (riol) baru yang disebut sebagai langkah perbaikan infrastruktur. Secara administratif, alasan tersebut dinilai logis karena akar pohon dianggap telah merusak saluran air yang lama dan menimbulkan risiko keselamatan bagi pengguna jalan, terutama ketika musim hujan atau terjadi angin kencang mengingat sebagian besar pohon telah berusia tua.
Namun demikian, dari perspektif sosial dan ekologis, terdapat warga menyayangkan tindakan tersebut. Bagi mereka, pohon-pohon itu bukan sekadar elemen lanskap kota, melainkan bagian dari fungsi ekosistem perkotaan yang telah selama puluhan tahun memberikan perlindungan alami dari panas matahari dan genangan air. Penebangan ini dipandang sebagai hilangnya ruang hijau yang memiliki nilai historis sekaligus ekologis bagi kehidupan masyarakat setempat.
Lalu muncul pertanyaan mendasar: apakah pembangunan infrastruktur seperti riol dapat dibenarkan dengan mengorbankan pohon pelindung kota?
Keseimbangan antara Pembangunan dan Perlindungan
Dalam kerangka hukum lingkungan nasional, pembangunan dan pelestarian alam dipandang sebagai dua aspek yang saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) secara eksplisit mengatur asas keseimbangan, yang menuntut adanya keharmonisan antara kepentingan ekonomi, sosial, serta kelestarian ekologi.
Dengan demikian, pemerintah daerah memiliki legitimasi untuk melaksanakan pembangunan infrastruktur seperti saluran drainase atau riol guna mencegah banjir. Namun, setiap tindakan pembangunan tersebut harus mempertimbangkan nilai ekologis pohon dan ruang hijau sebagai bagian dari fungsi ekologis perkotaan.
Keberadaan pohon di tepi jalan tidak hanya berperan estetis, melainkan memiliki fungsi ekologis penting, antara lain menyerap air hujan, menahan potensi erosi dan longsor, menurunkan suhu udara, serta menyaring polutan di atmosfer.
Apabila prinsip keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian lingkungan diabaikan, maka pembangunan justru dapat menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem kota. Air hujan yang sebelumnya terserap ke dalam tanah akan mengalir langsung ke permukaan jalan, suhu udara meningkat, dan kualitas udara memburuk akibat berkurangnya vegetasi penyerap karbon. Semua kondisi tersebut merupakan biaya ekologis tersembunyi (ecological cost) yang kerap tidak diperhitungkan dalam proses perencanaan proyek pembangunan.
Kewajiban Kajian Lingkungan
Setiap kegiatan pembangunan yang berpotensi menimbulkan dampak signifikan terhadap lingkungan hidup wajib disertai dengan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), atau paling tidak Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL) sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).
Namun, dalam praktiknya, ada juga kebijakan penataan ruang dan kegiatan pembangunan termasuk penebangan pohon di kawasan perkotaan dilaksanakan tanpa melalui proses kajian lingkungan yang komprehensif. Padahal, tindakan tersebut menyangkut kepentingan publik, mengingat pohon-pohon yang tumbuh di sepanjang jalan merupakan bagian dari ruang terbuka hijau publik dan termasuk aset lingkungan daerah yang keberadaannya dilindungi oleh peraturan perundang-undangan.
Apabila pemerintah daerah melakukan penebangan tanpa didahului kajian lingkungan yang memadai, maka secara yuridis tindakan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran administratif atau bahkan termasuk bentuk maladministrasi lingkungan, karena telah mengabaikan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) yang menjadi salah satu asas fundamental dalam hukum lingkungan modern (UU No. 32 Tahun 2009, Pasal 2 huruf f).
Hak Warga atas Lingkungan Sehat
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 28H ayat (1), menjamin bahwa setiap warga negara memiliki hak konstitusional atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hak ini termasuk dalam kategori hak asasi yang wajib dijamin, dihormati, dan dilindungi oleh negara.
Oleh karena itu, kebijakan penebangan pohon yang dilakukan tanpa rencana reboisasi yang jelas dapat dipandang sebagai bentuk pengingkaran terhadap pemenuhan hak konstitusional masyarakat atas kualitas lingkungan yang layak.
Dalam perspektif hukum lingkungan, tanggung jawab negara tidak hanya terbatas pada pencegahan dan pelarangan tindakan yang menimbulkan kerusakan lingkungan, tetapi juga mencakup kewajiban untuk melakukan pemulihan ekologis. Setiap aktivitas penebangan pohon seharusnya diimbangi dengan program penanaman kembali (replanting) secara proporsional, baik di lokasi yang sama maupun di kawasan hijau alternatif.
Lebih jauh, proses reboisasi tidak boleh berhenti pada tahap penanaman semata, tetapi harus disertai dengan pemeliharaan berkelanjutan hingga pohon tumbuh secara optimal. Tanpa upaya pemeliharaan tersebut, kebijakan reboisasi hanya akan menjadi seremonial administratif dan gagal memenuhi fungsinya sebagai instrumen pemulihan ekologis yang substantif.
Membangun Tanpa Menumbangkan Alam
Beberapa kota besar di dunia, seperti Singapura dan Seoul, telah menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur drainase dapat diintegrasikan dengan upaya pelestarian pohon dan ruang hijau perkotaan. Kedua kota tersebut mengadopsi pendekatan eco-drainage, yaitu sistem pengelolaan air hujan yang dirancang selaras dengan struktur perakaran pohon dan area resapan tanah, sehingga mampu menahan limpasan air permukaan tanpa merusak vegetasi di sekitarnya (udeRainEco, 2025).
Alih-alih melakukan penebangan pohon untuk pembangunan saluran air, desain sistem drainase di kota-kota tersebut disesuaikan agar akar pohon tetap dapat berkembang secara alami sekaligus menjaga kemampuan tanah dalam menyerap air hujan. Pendekatan semacam ini menggambarkan bahwa inovasi tata ruang dan teknologi lingkungan dapat menciptakan keseimbangan antara pembangunan dan konservasi ekosistem.
Model eco-drainage semestinya dapat diadaptasi di Indonesia sebagai bagian dari penerapan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Dalam konteks ini, pemerintah daerah dapat berkolaborasi dengan arsitek lanskap, pakar lingkungan, serta masyarakat lokal untuk merancang sistem infrastruktur yang tidak hanya fungsional secara teknis, tetapi juga berwawasan ekologi dan partisipatif. Pendekatannya bukan sekadar proyek fisik, tetapi perencanaan ekologis berbasis hukum dan partisipasi masyarakat.
Menutup dengan Akal Ekologis
Hukum lingkungan pada hakikatnya berperan sebagai penuntun rasionalitas manusia dalam menjaga keseimbangan relasinya dengan alam. Keputusan untuk menebang pohon demi kepentingan pembangunan mungkin terlihat efisien dalam jangka pendek, namun berpotensi menimbulkan dampak ekologis serius di masa mendatang.
Oleh karena itu, setiap bentuk pembangunan infrastruktur termasuk proyek drainase atau riol harus berlandaskan pada prinsip pembangunan berkelanjutan, yakni upaya memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan bumi untuk menopang kehidupan generasi berikutnya.
Dalam kerangka tersebut, kualitas suatu kota tidak hanya diukur dari banyaknya infrastruktur beton yang dibangun, melainkan dari kemampuannya menjaga ruang hijau dan sirkulasi ekologis melalui keberadaan pohon-pohon yang hidup di dalamnya.
Apabila hukum lingkungan dipahami sebagai instrumen moral sekaligus pagar ekologis, maka setiap kebijakan pembangunan idealnya mempertimbangkan manfaat jangka panjang dan keberlanjutan lingkungan hidup, bukan semata-mata efisiensi ekonomi atau kepentingan jangka pendek. Dengan demikian, hukum berfungsi bukan hanya sebagai alat regulasi, tetapi juga penjaga nilai antargenerasi dalam mewariskan lingkungan yang sehat dan lestari. (*)




