KesehatanNewsOpini

Kohabitasi Berujung Mutilasi, Dampak Tragis Liberalisasi Pergaulan Sosial

2972
×

Kohabitasi Berujung Mutilasi, Dampak Tragis Liberalisasi Pergaulan Sosial

Sebarkan artikel ini
Suryani M. Sy. Zubair, SE

Oleh : Suryani M. Sy. Zubair, SE (Aktivis)

Polres Mojokerto berhasil mengungkap kasus pembunuhan disertai mutilasi yang sudah menggegerkan warga Surabaya dan Mojokerto. 

Seorang pemuda bernama Alvi Maulana (24) tega menghabisi nyawa seorang wanita berinisial TAS (25) dalam hal ini merupakan pacar pelaku, lalu memutilasi jasad korban menjadi ratusan potongan. Sebagian potongan tubuh korban dibuang di Mojokerto, sementara sisanya disimpan di kos korban di Surabaya. (DIVISI HUMAS POLRI, 10/09/2025)

Peristiwa tragis ini terjadi pada Minggu (31/8/2025) sekitar pukul 02.00 WIB di rumah kos mereka di Jalan Raya Lidah Wetan, Surabaya. Alvi dan korban diketahui sudah berpacaran selama lima tahun dan tinggal bersama di tempat tersebut.

Kapolres Mojokerto, AKBP Ihram Kustarto, menjelaskan bahwa peristiwa bermula dari percekcokan. “Pelaku pulang larut malam, tetapi pintu kos dikunci dari dalam oleh korban. Pertengkaran pun terjadi hingga pelaku menusuk leher korban dengan pisau dapur. Satu tusukan itu membuat korban meninggal kehabisan darah,” ungkapnya, Senin (8/9/2025).

Dari kisah mutilasi tersebut menyisakan catatan fakta bagaimana tren kehidupan bebas generasi muda saat ini, yaitu living together atau kohabitasi atau tinggal bersama pasangan tanpa ikatan pernikahan. 

Alasannya pun beragam, mulai dari ingin lebih mengenal pasangan sebelum melangkah ke jenjang yang lebih serius, sampai pertimbangan praktis seperti efisiensi biaya hidup, dan lain-lain

Psikolog Virginia Hanny mengatakan, setidaknya ada tiga hal yang bisa jadi pertimbangan oleh pasangan sebelum memutuskan kohabitasi. Pertama, tinggal bersama ini merupakan kemauan dari kedua belah pihak tanpa adanya paksaan sama sekali.

“Jadi yang pertama harus tahu kalau tinggal bersama ini kemauan dari kedua belah pihak tanpa ada paksaan. Kemudian juga tahu konsekuensi dari melakukannya, risiko apa yang akan muncul dari kohabitasi itu,” jelas Hanny saat berbincang dengan Validnews (13/09/2025)

BACA JUGA:  Kuda Hitam Fc, Ps.Bonebalantak, Bungku Utara Fc dan BM Paisubololi, Raih Kemenangan di Babak Penyisihan

Gaya Hidup Liberal

Dari sinilah kita bisa melihat bagaimana gaya hidup sekuler liberal telah melahirkan pola pikir dan perilaku yang jauh dari nilai kemanusiaan, apalagi nilai ketakwaan. 

Paham sekuler liberal, yakni paham yang memisahkan agama dari kehidupan dan mengagungkan kebebasan, telah menjadikan manusia bebas menentukan standar hidupnya sendiri tanpa perlu mempertimbangkan halal maupun haram. 

Dalam paradigma ini, agama hanya ditempatkan di ruang privat sekedar urusan ibadah ritual, sementara dalam urusan sosial, ekonomi, pergaulan, dan hukum, manusia merasa berhak penuh mengatur sesuai hawa nafsunya.

Normalisasi kumpul kebo di kalangan anak muda menjadi tren toksik buah dari sekularisme. Dalam masyarakat sekuler-liberal saat ini, aktivitas pacaran bukan lagi hal yang tabu. Bahkan tinggal serumah dan membagi tugas rumah tangga dengan pacar adalah hal yang wajar. 

Pacaran, tinggal serumah tanpa ikatan pernikahan, bahkan perzinaan, dianggap sebagai bagian dari kebebasan pribadi yang tidak boleh diganggu. Hal yang dahulu dianggap tabu kini justru dinormalisasi dan dikemas seolah-olah bagian dari gaya hidup modern. Fakta di lapangan menunjukkan betapa parah dampak sekuler liberal terhadap generasi muda.

Di sisi lain, negara dalam sistem sekuler liberal tidak berperan membentuk rakyatnya agar memiliki pemahaman yang benar dalam menjalani kehidupan, yakni pemahaman Islam. Justru negara sering mendukung aktivitas pacaran dan perzinaan, tidak termasuk dalam tindak pidana, tetapi hanya akan dipidana jika ada korban. Memberi ruang luas bagi aktivitas pacaran, pergaulan bebas, dan berbagai bentuk kemaksiatan. Lihat saja bagaimana konser musik, tontonan yang mengekspos aurot, hingga aplikasi kencandaring terus dilegalkan dan dibiarkan.

BACA JUGA:  Biadab, Seorang Sopir di Luwuk Utara Tega Setubuhi dan Jual Anak Bawah Umur 

Padahal semua ini menjadi pintu lebar terjadinya perzinaan. Maka tak heran, perzinaan tidak termasuk tindak pidana, ia hanya akan diproses hukum jika berujung pada kekerasan, pelecehan, atau pembunuhan. Perzinaan juga baru dipidanakan jika ada pihak keluarga yang mengadukan.

Dengan kata lain, negara hanya hadir setelah ada korban, bukan untuk mencegah akar masalahnya. Dalam sistem hukum sekuler, pelaku kriminal jarang mendapat efek jerah. Penjara hanya jadi sekolah kejahatan, sehingga banyak nafi mengulang perbuatannya, bahkan lebih sadis.

Hukum sekuler pun gagal mencegah kejahatan sejak akarnya dan tidak memberi rasa aman bagi masyarakat. Inilah bukti nyata bahwa paham sekuler liberal tidak hanya gagal menyejahterakan, tetapi juga gagal menjaga akhlak, keamanan, dan keadilan dalam masyarakat. Selama sistem ini masih menjadi pijakan kehidupan, kasus-kasus tragis yang lahir dari gaya hidup permisif dan lemahnya penegakan hukum akan terus berulang.

Maraknya kriminalitas sebagai dampak paham ini tak mungkin bisa diselesaikan dengan solusi individu atau tambal sulam hukum. Sistem rusak akan terus melahirkan kerusakan. Karena itu, dibutuhkan solusi sistemik yang menyelesaikan persoalan secara mendasar.

Dalam Islam

Dan untuk itulah Allah menurunkan Islam. Islam hadir bukan sekadar agama ritual, tetapi sistem hidup menyeluruh yang menata pribadi, masyarakat, dan negara sesuai fitrah manusia. Ketakuan individu adalah benteng awal agar seseorang mampu bertindak sesuai tujuan penciptaannya, yakni beribadah kepada Allah SWT.

Orang yang bertakwa akan menjauhi hal-hal yang diharamkan oleh Islam seperti pacaran, perzinaan, bahkan perbuatan keji seperti pembunuhan. Namun ketakwaan individu saja tidak cukup. Perlu ada kontrol masyarakat yang aktif mengingatkan, menasihati, dan mencegah kemungkaran agar pergaulan tidak terjerumus pada kebebasan yang merusak.

BACA JUGA:  Mahasiswa IPMANAPANDODE Sorong Raya Gelar Makan Bersama untuk Menandai Duka Tiga Malam

Lebih jauh, negara memiliki peran strategis untuk menerapkan Islam secara kafafh, sempurna. Negara dalam sistem Islam memiliki kewajiban membentuk rakyatnya agar berkepribadian Islam, bukan sekedar mencetak tenaga kerja. Hal ini diwujudkan dengan melaksanakan sistem pendidikan berbasis akidah Islam.

Sistem ini akan melahirkan generasi yang berilmu, berakhlak, serta memiliki orientasi hidup kepada ridho Allah SWT. Selain itu, khilafah mengatur sistem pergaulan antara laki-laki dan perempuan dengan syariat yang jelas. Ihtilat atau campur baur tanpa kebutuhan syari dan kholwat atau berduaan tanpa mahrum, dicegah.

Sementara interaksi sosial, ekonomi, dan budaya diarahkan agar tetap dalam batas-batas syariat. Negara menutup semua jalan menuju zina dengan menegakkan hukum Islam secara tegas. Tidak hanya itu, khilafah juga menerapkan sistem sanksi Islam atau ukubat yang bersifat menjerakan sekaligus mendidik.

Hukuman bagi pelaku jarimah atau pelanggaran syariat seperti zina, pembunuhan, pencurian, atau perbuatan maksiat lainnya ditetapkan langsung oleh syariat. Berbeda dengan penjara dalam sistem sekuler yang sering menjadi sekolah kejahatan, uqubat dalam Islam justru mencegah kriminalitas sejak akarnya, menimbulkan efek jerah, menjaga ketertiban masyarakat, serta menutup peluang kejahatan berulang. Dengan penerapan Islam dalam negara maka individu terlindungi, masyarakat terjaga, hukum ditegakkan, dan negara benar-benar berfungsi melindungi rakyatnya dari kejahatan, sekaligus mengarahkan mereka kepada kehidupan yang sesuai dengan tujuan penciptaan, yaitu beribadah kepada Allah SWT. (*)