Banggaikece.id – Kekerasan terhadap perempuan masih menjadi persoalan struktural serius di Kabupaten Banggai. Masalah ini bukan hanya mencerminkan lemahnya penegakan hukum, tetapi juga menunjukkan kegagalan kolektif dalam membangun budaya yang berkeadilan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Aktivis perempuan dan kader Himpunan Mahasiswa Islam (KOHATI), Nirmala Shabrina, menyampaikan seruan terbuka kepada seluruh elemen masyarakat untuk lebih reflektif, peduli, dan bertanggung jawab dalam merespons isu kekerasan berbasis gender.
Dalam keterangannya, Nirmala menyoroti bahwa kekerasan seksual, pelecehan, dan diskriminasi berbasis gender masih sering dianggap sebagai hal sepele, tabu, bahkan kerap disikapi dengan pembungkaman.
“Normalisasi terhadap kekerasan seksual adalah bentuk nyata dari kegagalan sosial. Perempuan tidak hanya mengalami luka fisik dan psikis, tetapi juga sering menjadi korban penghakiman sosial, termasuk dari lingkungan terdekatnya,” tegas Nirmala, Selasa 29 Juli 2025.
Ia menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak terjadi dalam ruang kosong. Fenomena ini adalah konsekuensi dari struktur sosial yang patriarkal, ketimpangan relasi kuasa, serta minimnya edukasi mengenai kesetaraan gender dan hak asasi manusia.
“Kita tidak bisa terus menganggap kasus-kasus ini sebagai insiden semata. Ini masalah sistemik yang hanya bisa diatasi melalui kesadaran kolektif dan keberanian moral untuk bersikap,” ungkapnya.
Menurut Nirmala, kondisi tersebut mencerminkan belum optimalnya penerapan pengarusutamaan gender (gender mainstreaming), baik dalam kebijakan publik maupun dalam norma-norma sosial.
Ia menyebut, pengarusutamaan gender harus menjadi prinsip utama dalam penyusunan dan implementasi kebijakan, termasuk dalam bidang hukum, pendidikan, dan layanan publik, guna menghapus ketimpangan dan mencegah kekerasan berbasis gender sejak akar.
“Tanpa perspektif gender yang kuat dalam tata kelola kebijakan dan kelembagaan, negara dan masyarakat akan terus abai terhadap realitas ketidakadilan yang dialami perempuan,” katanya.
Menutup pernyataannya, Nirmala menegaskan bahwa perempuan tidak membutuhkan belas kasihan, tetapi keadilan struktural, rasa aman yang dijamin negara, serta penghormatan penuh terhadap eksistensi perempuan sebagai manusia seutuhnya.
Ia mendorong agar pengarusutamaan gender tidak hanya dijadikan jargon, tetapi menjadi arus utama dalam perumusan kebijakan publik dan reformasi kelembagaan, sebagai satu-satunya jalan menuju perubahan sosial yang berkelanjutan. (*)




