Jakarta, 3 Juni 2025 — Meski Indonesia tercatat sebagai produsen telur terbesar ketiga dunia, data menunjukkan hampir separuh penduduknya masih mengalami kekurangan asupan protein harian. Sebuah fenomena yang menjadi perhatian serius dalam upaya peningkatan gizi nasional.
“Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2024, sebanyak 46% orang Indonesia kekurangan asupan protein harian. Rata-rata asupan hariannya hanya 62 gram per kapita per hari,” ungkap Tenaga Ahli Menteri Pertanian Bidang Hilirisasi Produk Peternakan, Prof. DR. Ir. H. Ali Agus, DAA, DEA, IPU, ASEAN Eng.
Angka tersebut jauh tertinggal dari negara-negara tetangga. “Malaysia misalnya rata-rata konsumsi proteinnya 159 gram per kapita, Thailand 141 gram, dan Filipina 93 gram,” lanjut Guru Besar Fakultas Peternakan UGM ini.
Kondisi ini menjadi tantangan besar bagi program Makan Bergizi Gratis (MBG) Presiden Prabowo Subianto. “Makan bergizi ini mau tidak mau bicara tentang protein hewani, khususnya hasil ternak: daging, telur, susu. Sedangkan produksi susu dalam negeri hanya mampu mencukupi sekitar 18% dari kebutuhan nasional,” papar Prof. Ali saat diwawancarai di kantornya.
“Khususnya pada anak-anak, konsumsi protein hewani yang cukup akan menghindarkan mereka dari kasus gizi buruk dan stunting: pertumbuhan terhambat, mudah sakit, dan otak tidak berkembang normal,” jelasnya.
Menjadi tantangan tersendiri bagi Kabinet Merah Putih Presiden Prabowo untuk meningkatkan ketersediaan daging, telur, dan susu. Apalagi program minum susu gratis telah menjadi janji politik saat kampanye pilpres tahun lalu.
Muncul pertanyaan besar: bagaimana pemerintah akan menyediakan produk peternakan secara mandiri? Haruskah mengandalkan impor?
Untuk menjawab tantangan tersebut, Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan telah menyusun peta jalan percepatan penyediaan daging, telur, dan susu. Adalah Prof. Ali Agus yang menjadi arsitek di balik penyusunan peta jalan tersebut.
Prof. Ali yang telah 35 tahun berpengalaman dalam riset dan inovasi peternakan dipercaya oleh Menteri Pertanian Dr. Andi Amran Sulaiman untuk merancang roadmap swasembada protein hewani Indonesia 2025–2035.
Dari ruang laboratorium Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada hingga koridor Kementerian Pertanian, perjalanan akademis Prof. Ali mencerminkan transformasi Indonesia dari negara pengimpor menuju swasembada protein hewani. Ia mengabdikan hampir empat dekade hidupnya untuk ilmu nutrisi dan makanan ternak, dan sejak Oktober 2023 dipercaya menjadi Tenaga Ahli Menteri Pertanian Bidang Hilirisasi Produk Peternakan.
“Menjadi dosen sejak tahun 1990 dan sekarang ini tahun 2025, berarti sudah genap 35 tahun ya. Wah, tidak terasa sebagai akademisi, sebagai peneliti,” ujar Prof. Ali.
Dari Jerami hingga Teknologi Revolusioner
Perjalanan riset Prof. Ali dimulai dari hal yang tampak sederhana: jerami padi. Sebagai dosen muda, dia mengembangkan teknologi fermentasi jerami padi untuk meningkatkan kualitas gizinya hingga hampir menyamai rumput. Inovasi ini kemudian berkembang menjadi serangkaian terobosan yang mengubah lanskap peternakan Indonesia, khususnya dalam bidang teknologi pakan.
“Sejak saya kuliah S1, S2, dan S3, yang saya pelajari adalah ilmu nutrisi dan makanan ternak. Khususnya teknologi pakan,” jelasnya. Dari situlah lahir berbagai inovasi yang kini diadopsi masyarakat luas, termasuk Fermented Complete Feed yang populer disebut “burger pakan”.
Teknologi ini bukan sekadar inovasi akademis. Dalam dunia bisnis peternakan, pakan memegang peranan krusial karena 60–70 persen biaya produksi berasal dari komponen ini. “Kalau kita bisa melakukan inovasi-inovasi pakan, ya, misalnya memanfaatkan hasil samping industri, hasil samping pertanian, mengembangkan feed suplemen, maka akan meningkatkan efisiensi pakan yang berarti keuntungan,” kata Prof. Ali menjelaskan urgensi penelitiannya.
Burger Pakan: Solusi Revolusioner untuk Peternak
Inovasi paling menonjol Prof. Ali adalah pengembangan Fermented Complete Feed atau “burger pakan”. Teknologi ini mengombinasikan hijauan, rumput-rumputan, konsentrat, mineral, dan vitamin dalam satu paket yang difermentasi.
“Itu seperti campuran ada hijauan, rumput-rumputan, kemudian ada konsentrat, mineral, vitamin. Dan itu kalau diberikan kepada sapi, bisa sapi potong, sapi perah, cukup dengan itu. Jadi tidak perlu diberikan sendiri-sendiri,” jelasnya.
Keunggulan teknologi ini sangat terasa saat musim kemarau atau paceklik pakan ketika hijauan sulit ditemukan. Hasil uji coba di peternakan sapi perah menunjukkan manfaat signifikan, terutama saat musim kemarau maupun ketika menghadapi wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK).
“Ke depan, mau pelihara sapi berapa, memelihara domba berapa, mau memelihara sapi perah, tidak akan menjadi persoalan serius. Kalau dukungan pakan ini tercipta, sudah akan menjadi revolusi kemajuan industri peternakan,” prediksi Prof. Ali.
Indonesia: Kekuatan Tersembunyi Protein Hewani Dunia
Indonesia ternyata memiliki posisi mengejutkan di pasar global. Negara ini merupakan produsen telur terbesar ketiga dunia. “Kalau kita bicara telur ayam negeri, ayam petelur komersial atau disebut juga ayam merah, Indonesia termasuk produsen telur terbesar ketiga dunia,” ungkap Prof. Ali dengan bangga.
Untuk daging ayam broiler, Indonesia sudah mencapai swasembada bahkan berpotensi ekspor. “Kalau kita bicara daging ayam, ayam broiler kita itu sudah dapat dikatakan swasembada, mandiri. Bahkan peluang ekspor itu besar dan beberapa perusahaan sudah melakukan ekspor,” jelasnya.
Keunggulan Indonesia terletak pada ketersediaan bahan baku pakan yang melimpah. “Kalau bicara penggemukan sapi di Indonesia, itu relatif paling kompetitif dibandingkan menggemukkan sapi di Australia. Kita punya limbah pertanian, limbah industri yang jumlahnya melimpah, termasuk kita punya kebun sawit terluas di dunia. Maka kita punya bungkil inti kelapa sawit, dapat menjadi pakan ternak,” papar Prof. Ali.
Kreativitas Prof. Ali tidak berhenti pada pakan. Bersama timnya, ia mengembangkan Sapi Gama (Gagah dan Macho), hasil persilangan Sapi Brahman betina dengan Sapi Belgium Blue jantan yang memiliki otot ganda. “Sapi gagah dan macho. Gama itu bukan berarti Gadjah Mada ya, nama universitas negeri tertua di Indonesia. Tapi itu gagah dan macho,” jelasnya antusias.
Ketika wabah PMK melanda, Prof. Ali segera mengembangkan formula konsentrat imunobooster. “Konsentrat itu saya beri nama Imunobooster. Itu hasil riset panjang yang terbukti mampu meningkatkan kekebalan tubuh ternak,” katanya.
Menjembatani Akademik dan Kebijakan
Transisi Prof. Ali dari akademisi murni menjadi praktisi kebijakan dimulai saat menjadi Dekan Fakultas Peternakan UGM dua periode (2012–2021). Kini, sebagai Tenaga Ahli Menteri Pertanian dan Komisaris Holding BUMN Pangan ID FOOD, ia menjembatani dunia penelitian dengan implementasi kebijakan, termasuk dunia bisnis.
Prof. Ali juga berpengalaman sebagai konsultan peternakan yang membimbing perusahaan kecil menjadi besar. PT Widodo Makmur Perkasa yang ia bimbing bahkan berhasil masuk bursa saham. Sejak IPO pada tahun 2022, Prof. Ali Agus didapuk menjadi Komisaris Utama di sana.
“Sekarang diminta membantu pemerintah sebagai tenaga ahli. Barangkali dengan pertimbangan pengetahuan, pengalaman di lapangan, punya jejaring yang cukup, bisa membantu menjembatani program-program yang relevan dan mendukung prioritas pembangunan pertanian,” jelasnya.
Percepatan Swasembada Produk Peternakan
Sebagai Tenaga Ahli Menteri Pertanian, Prof. Ali kini tengah menyusun peta jalan swasembada protein hewani. Ia menekankan bahwa strategi harus dirancang terukur dan berbasis data.
“Kalau kita mau swasembada daging, maka perlu dihitung berapa kebutuhan konsumsi, berapa produksi lokal saat ini, berapa kekurangannya, dan bagaimana strategi menutup gap tersebut dalam jangka pendek, menengah, dan panjang,” paparnya.
Ia juga menekankan pentingnya pendekatan berbasis kawasan, mengingat kondisi geografis dan sumber daya alam Indonesia yang sangat beragam. “Misalnya kawasan berbasis sapi di Nusa Tenggara, domba di Jawa Barat, unggas di Jawa Tengah, dan sebagainya. Ini akan lebih efisien dan sesuai dengan daya dukung wilayah,” ujar Prof. Ali.
Langkah-langkah yang tengah digodok mencakup penguatan industri perbibitan, pengembangan pakan lokal, pemberdayaan peternak rakyat, hingga integrasi sistem logistik dan rantai pasok. Tak hanya itu, hilirisasi produk peternakan juga menjadi perhatian utama.
“Kita harus mengembangkan industri olahan daging, telur, dan susu agar punya nilai tambah dan bisa menjangkau konsumen secara luas, termasuk melalui program makan bergizi gratis di sekolah-sekolah,” jelasnya.
Sosok Akademisi Visioner dan Praktis
Ketika ditanya apa yang memotivasinya terus berkarya selama puluhan tahun, Prof. Ali menjawab dengan sederhana: “Saya ingin ilmu yang saya pelajari tidak berhenti di laboratorium atau jurnal ilmiah saja, tapi bisa dirasakan manfaatnya oleh peternak dan masyarakat luas.”
Visinya tak hanya sebatas swasembada, tetapi juga menjadikan Indonesia sebagai pemain utama dalam industri protein hewani global. “Kalau kita serius, saya yakin Indonesia bisa jadi lumbung protein dunia,” tegasnya.
Dengan kombinasi keahlian ilmiah, pengalaman lapangan, dan kemampuan manajerial, Prof. Ali Agus menjadi contoh langka dari sosok akademisi yang mampu menjembatani dunia kampus, dunia usaha, dan dunia kebijakan. Ia meyakini bahwa riset harus hadir di tengah masyarakat dan menjawab kebutuhan bangsa.
Penutup
Selama lebih dari tiga dekade, Prof. Ali Agus telah menorehkan kontribusi nyata bagi dunia peternakan Indonesia. Dari riset fermentasi jerami padi hingga menyusun roadmap nasional swasembada protein hewani, dari ruang kelas di UGM hingga kantor Kementerian Pertanian dan ruang rapat BUMN pangan, ia terus konsisten memperjuangkan satu hal: kemandirian pangan Indonesia.
“Pembangunan pertanian tidak bisa dilakukan hanya oleh pemerintah. Harus melibatkan semua pihak: akademisi, pelaku usaha, petani dan peternak, serta masyarakat luas. Kalau kita gotong-royong, saya yakin Indonesia bisa berdikari dalam protein hewani,” pungkasnya. (*)




