Oleh: Irfan Kahar (Mahasiswa Hukum Universitas Ichsan Gorontalo)
Wacana pemberian izin usaha pertambangan kepada perguruan tinggi mencuat dalam revisi Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba) yang resmi menjadi usulan inisiatif DPR dalam sidang paripurna pada Kamis, 23 Januari 2025. Badan Legislasi (Baleg) DPR membahas rancangan tersebut secara tertutup selama masa reses parlemen yang berakhir pada 20 Januari 2025.
RUU ini memuat ketentuan yang memungkinkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) diberikan melalui mekanisme lelang atau secara prioritas kepada badan usaha, koperasi, perusahaan perseorangan, organisasi masyarakat (ormas), dan perguruan tinggi.
Pemerintah berargumen bahwa kebijakan ini bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan dan fasilitas perguruan tinggi. Namun, menurut saya, ini hanyalah penggiringan opini agar kebijakan tersebut diterima oleh masyarakat, khususnya oleh lembaga pendidikan tinggi.
Jika kita merujuk pada laporan Majalah Tempo, sejumlah politikus di lingkaran Presiden Prabowo Subianto menyebut bahwa salah satu alasan di balik kebijakan ini adalah untuk menjaga agar dosen dan mahasiswa tetap sejalan dengan pemerintah, sebagaimana yang terjadi di era pemerintahan Joko Widodo. Saat itu, kampus-kampus ditengarai menjadi kurang kritis karena para petingginya diberikan berbagai “gula-gula jabatan” oleh pemerintah.
Kebijakan ini diyakini sebagai langkah strategis untuk mencegah gelombang demonstrasi mahasiswa selama masa kepemimpinan Prabowo. Namun, Ketua Baleg DPR, Bob Andika, membantah anggapan ini dan menyatakan bahwa revisi UU Minerba justru bertujuan untuk meringankan beban uang kuliah mahasiswa.
Sebagai aktivis mahasiswa, saya melihat bahwa kebijakan ini bukanlah upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan, melainkan justru mengancam fungsi pendidikan itu sendiri.
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan memiliki fungsi utama untuk mengembangkan kemampuan, membentuk watak, serta membangun peradaban bangsa. Jika perguruan tinggi terlibat dalam bisnis pertambangan, maka independensi akademik dan nilai-nilai etika kampus akan tergerus.
Lebih dari itu, pemberian izin usaha pertambangan kepada perguruan tinggi berpotensi menjadi celah bagi para pemodal kapitalis untuk masuk ke lingkungan akademik dan membungkam daya kritis mahasiswa. Perguruan tinggi bisa kehilangan marwahnya sebagai benteng independensi akademik dan pilar peradaban bangsa.
Sebagai institusi yang bertugas mencetak generasi intelektual, kampus seharusnya berperan sebagai pusat solusi terhadap permasalahan lingkungan, bukan justru menjadi bagian dari perusakan lingkungan itu sendiri.
Alih-alih mengelola tambang, perguruan tinggi seharusnya meningkatkan riset dan inovasi untuk mencari energi alternatif yang lebih ramah lingkungan.
Kedua, menjadi mitra kritis pemerintah dalam mengawasi kebijakan yang berdampak terhadap masyarakat dan lingkungan.
Perguruan tinggi hadus memastikan kampus tetap menjadi ruang kebebasan berpikir tanpa intervensi kepentingan bisnis dan politik.
Jika revisi UU Minerba tetap dipaksakan untuk memberi izin usaha pertambangan kepada kampus, maka hal ini hanya akan mencederai cita-cita luhur pendidikan nasional. Oleh karena itu, kebijakan ini harus ditinjau ulang, atau jika perlu, dibatalkan sepenuhnya.
Kampus bukan ladang bisnis. Kampus adalah rumah bagi kecerdasan dan moral bangsa. (*)




