Oleh: Mohammad Seva Ardiansyah
Mahasiswa S1 Prodi Hukum Keluarga Islam, Universitas Muhammadiyah Malang
Baru-baru ini, kasus pemalsuan ijazah atau dokumen pribadi oleh sejumlah pejabat negara kembali mencuat. Tindakan ini bertentangan dengan nilai-nilai kewarganegaraan yang mengedepankan kejujuran, integritas, dan tanggung jawab. Ironisnya, mereka rela merusak nilai-nilai tersebut demi memperoleh jabatan. Padahal, pemalsuan semacam ini sangat dilarang negara karena tidak hanya merugikan masyarakat tetapi juga mencoreng martabat bangsa.
Nilai-Nilai Kewarganegaraan dan Pentingnya Kejujuran
Nilai-nilai kewarganegaraan menekankan pentingnya kejujuran, integritas, dan tanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat. Keutuhan negara bergantung pada hak dan kewajiban setiap warganya untuk menjalankan peraturan yang telah ditetapkan. Dalam pandangan UUD dan berbagai regulasi lainnya, setiap pelanggaran akan dikenai sanksi, tanpa pengecualian.
Pemalsuan ijazah bertentangan dengan prinsip kejujuran karena melibatkan manipulasi fakta untuk memperoleh keuntungan tidak sah. Hal ini mencerminkan tindakan tidak bermoral yang merugikan masyarakat dan negara. Seorang warga negara, apalagi pejabat, harus menjunjung tinggi integritas dan bertanggung jawab atas kepercayaan masyarakat. Pemalsuan ijazah bukan hanya tindakan tidak jujur, tetapi juga mencerminkan ketidakbertanggungjawaban yang mencoreng nama baik bangsa.
Dampak Pemalsuan Ijazah
Pemalsuan ijazah membawa dampak negatif yang serius, di antaranya:
- Merusak kredibilitas pribadi dan institusi: Tindakan ini mencoreng nama baik individu dan lembaga yang terlibat.
- Menurunkan kualitas sumber daya manusia: Orang yang menggunakan ijazah palsu cenderung tidak kompeten dan tidak amanah.
- Mengganggu stabilitas sosial dan keadilan: Tindakan ini menciptakan ketidakadilan di tengah masyarakat yang merusak tatanan sosial.
Sanksi Hukum Bagi Pemalsu Ijazah
Dalam KUHP lama (Pasal 263-276), pemalsuan ijazah digolongkan sebagai kejahatan pemalsuan surat. Pelaku dapat dikenai pidana penjara hingga enam tahun. Pada KUHP baru yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 2023, sanksi ini diperbarui. Pasal 272 ayat (1) KUHP baru menetapkan hukuman bagi pelaku pemalsuan ijazah, sertifikat kompetensi, atau dokumen lainnya dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau denda hingga Rp500 juta.
Selain itu, Pasal 93 UU Pendidikan Tinggi juga mengatur sanksi terhadap perorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang melanggar ketentuan tentang penerbitan ijazah. Hukuman maksimalnya adalah pidana penjara sepuluh tahun atau denda hingga Rp1 miliar.
Kasus Pemalsuan Ijazah yang Mencuat
Beberapa kasus pemalsuan ijazah yang mencoreng nama baik pejabat negara, antara lain:
- Calon Wali Kota Palopo dan tiga anggota KPU menjadi tersangka pemalsuan ijazah (17 Oktober 2024).
- Bupati Ponorogo dilaporkan atas dugaan penggunaan ijazah palsu (3 Juni 2024).
- Anggota DPRD Lampung Selatan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ijazah palsu (17 Desember 2024).
Kasus-kasus ini menunjukkan betapa mirisnya moralitas pejabat yang seharusnya menjadi teladan bagi masyarakat. Ketika pemimpin bangsa justru melanggar etika dan hukum, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan terus menurun.
Kesimpulan
Pemalsuan ijazah adalah bentuk pelanggaran serius terhadap nilai-nilai kewarganegaraan. Negara harus menegakkan keadilan dengan memberikan sanksi tegas sesuai peraturan yang berlaku. Penulis mendukung penegakan hukum yang adil dan merekomendasikan agar lembaga pengawas lebih teliti serta tidak menerima suap dalam pemeriksaan dokumen. Hal ini penting untuk menjaga moralitas, keadilan, dan stabilitas negara agar tidak semakin terpuruk akibat tindakan yang merusak nilai-nilai kewarganegaraan. (*)