BANGGAI KECE – Di balik senyum bahagia pada prosesi Wisuda Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Luwuk Angkatan XXIII, Sabtu, 13 Desember 2025, tersimpan kisah perjuangan panjang seorang perempuan tangguh bernama Ringki Sumarni.
Mahasiswi Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) ini berhasil menorehkan prestasi sebagai lulusan terbaik dengan IPK 3,95.
Ia berasal dari Desa Lembah Keramat, Kecamatan Toili Barat, Kabupaten Banggai, sebuah desa sederhana yang menjadi saksi awal mimpi-mimpinya tumbuh.
Ringki adalah anak kedua dari pasangan Rohman dan Zumrotun. Ayahnya seorang petani, sementara sang ibu adalah ibu rumah tangga.
Latar belakang keluarga sederhana tidak membuatnya surut melangkah, justru menjadi bahan bakar semangat untuk terus maju.
Dari Keraguan Orang Tua hingga Izin Langit
Selepas lulus dari Pondok Pesantren Darul Hikmah, keinginan Ringki untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi sempat dianggap mustahil. Faktor ekonomi dan pola pikir lama menjadi penghalang.
“Seorang perempuan buat apa sekolah tinggi, ujung-ujungnya juga ke dapur,” begitulah pandangan yang ia hadapi kala itu.
Namun, Ringki tidak menyerah. Ia meyakini bahwa perempuan harus berilmu, karena ibu adalah madrasatul ula, sekolah pertama bagi anak-anaknya kelak.
Hari demi hari ia membujuk, merayu, bahkan menangis, sembari terus memohon pertolongan Allah SWT.
Hingga akhirnya, izin itu datang. Allah membolak-balikkan hati orang tuanya. Dengan penuh tekad, Ringki mengurus pendaftaran kuliah sendiri, dibantu beberapa teman, dan memulai langkah besarnya di Unismuh Luwuk.
Selama kurang lebih empat tahun, Ringki menjalani kehidupan yang tidak mudah. Ia kuliah sambil bekerja untuk membiayai hidup dan pendidikannya.
Dari menjadi guru les calistung, guru mengaji, hingga mengajar di TK Tahfidz Al-Qur’an Adzkiyyah Luwuk dan Rumah Quran Sahabat Berbagi di Kelurahan Soho.
Rutinitasnya padat. Pagi hingga siang mengajar TK, sore kembali mengajar, malam mengisi les hingga pukul 21.30 WITA. Pulang ke kos hanya untuk ganti baju, mandi, lalu berangkat lagi.
“Capek? Iya. Bosan? Iya. Tapi menyerah? Tidak pernah,” tuturnya.
Sebagai anak petani, Ringki justru bangga bisa membantu meringankan beban orang tua dengan jerih payahnya sendiri.
Meski sibuk bekerja, Ringki tetap aktif di kampus. Ia terlibat dalam organisasi KSR (Korps Sukarela) yang bekerja sama dengan PMI, serta KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Komisariat Luwuk Banggai.
Tak hanya itu, ia juga mengikuti program nasional Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM). Prestasi membawanya lolos beasiswa dan menempuh satu semester di Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jawa Tengah.
Pengalaman bertemu teman-teman dari berbagai provinsi—Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, hingga Jawa—menjadi salah satu momen paling berkesan dalam hidupnya.
Bagi Ringki, meraih IPK tinggi bukan soal kecerdasan semata, tetapi mental baja dan konsistensi.
“Tanamkan dalam diri bahwa perempuan bisa membawa perubahan. Jangan gengsi, aktif di kelas, ikut diskusi, dan kerjakan tugas tepat waktu,” pesannya.
Ia percaya bahwa kesibukan bukan alasan untuk gagal, justru menjadi latihan manajemen waktu dan kedewasaan.
Pesan untuk Perempuan dan Anak Petani
Ringki menitipkan pesan kuat bagi siapa pun yang membaca kisahnya.
“Jangan pernah menyerah dengan keadaan. Takdir Allah yang punya, tapi ikhtiar adalah milik kita. Perempuan layak sekolah tinggi. Anak petani layak kuliah. Anak orang tua lulusan SD pun bisa berpendidikan tinggi,” ucapnya penuh haru.
Setelah lulus, Ringki berencana bekerja terlebih dahulu sambil menabung.
Ia berharap suatu hari bisa melanjutkan ke PPG atau S2. Soal jodoh, ia tersenyum kecil, belum ada calon, karena terlalu fokus kuliah dan bekerja. “Semoga Allah mudahkan segalanya,” tutupnya dengan tawa dan semangat.
Kisah Ringki Sumarni adalah bukti nyata bahwa mimpi tidak mengenal latar belakang. Selama ada doa, usaha, dan keyakinan, jalan akan selalu terbuka. (*)




