BeritaNewsUmum

PT KLS Tepis Keraguan Publik Soal Legalitas: Beroperasi Sejak 1997 dan Semua Berizin!

145
×

PT KLS Tepis Keraguan Publik Soal Legalitas: Beroperasi Sejak 1997 dan Semua Berizin!

Sebarkan artikel ini
Tampak perkebunan sawit di Kabupaten Banggai. FOTO: DOK FB RAHMAT A

BANGGAI KECE — PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS) akhirnya angkat bicara menepis keraguan publik terkait legalitas perusahaan di Morowali Utara.

Perusahaan yang telah beroperasi hampir tiga dekade itu menegaskan seluruh aktivitasnya berada dalam koridor hukum dan mematuhi regulasi perkebunan sejak pertama kali masuk wilayah tersebut pada 1997.

Penegasan ini disampaikan Direktur PT KLS, Sulianti Murad, serta Asisten Direktur, Ferdinand Magaline, di tengah memanasnya isu konflik agraria yang menyeret nama perusahaan dalam sejumlah forum mediasi, termasuk Mediasi Satgas PKA Sulteng pada 10 Desember 2025. Konflik tersebut berkaitan dengan sengketa lahan di Mamosalato dan Bungku Utara.

Sulianti menegaskan bahwa legalitas PT KLS telah lengkap sejak awal, termasuk dokumen-dokumen pendukung pengembangan kebun inti plasma di kawasan operasional perusahaan di Morowali Utara.

“Seluruh kegiatan kami berjalan berdasarkan hukum. Kami hanya meminta perlindungan dan kepastian usaha. Investasi tidak bisa tumbuh jika ada gangguan dari pihak yang tidak memiliki dasar hak,” ujarnya, Kamis 11 Desember 2025.

Ia juga menyebut hubungan PT KLS dengan masyarakat di tiga desa operasional — Taronggo, Posangke, dan Tokala Atas — selama ini berjalan harmonis. Menurutnya, gesekan justru berasal dari pihak yang tidak memiliki hubungan langsung dengan wilayah kelola perusahaan.

Selain itu, perusahaan menyoroti kontribusinya terhadap daerah, mulai dari penyerapan tenaga kerja lokal hingga pembayaran pajak PPN, PPh, dan PBB. Pembelian tandan buah segar (TBS) dari petani plasma bahkan mencapai sekitar Rp5 miliar per bulan.

BACA JUGA:  38 Mahasiswa Baru AMIK Luwuk Terima Buku Tabungan dan ATM Beasiswa KIP Kuliah

Merespons polemik seputar perizinan — termasuk PPKPR, keterdaftaran OSS, hingga status HGU — Ferdinand menjelaskan bahwa PT KLS telah beroperasi jauh sebelum OSS dan PKKPR diberlakukan. Karena itu, izin yang digunakan mengacu pada regulasi yang berlaku pada 1997, termasuk izin lokasi dari Kantor Pertanahan Poso yang diperbarui Pemkab Morowali pada 2013.

“Kami memiliki izin lokasi, rekomendasi kesesuaian rencana makro perkebunan dari Pemprov Sulteng tahun 2015, serta dokumen pembelian lahan resmi seperti SKPT, SPT, dan sertifikat hak milik,” jelasnya. Ia menegaskan bahwa proses migrasi perizinan ke OSS saat ini tengah berlangsung di Dinas Perizinan Morowali Utara.

Terkait HGU, Ferdinand menjelaskan bahwa penguasaan lahan perusahaan berasal dari pembelian langsung dari masyarakat sejak 1997, bukan pengajuan HGU baru. PT KLS juga menyatakan siap menyerahkan seluruh dokumen yang dibutuhkan kepada Satgas sebelum batas waktu 19 Desember 2025.

Dalam pertemuan resmi di Balai Desa Baturube, 10 Desember 2025, perusahaan bertemu Satgas, OPD Provinsi dan Kabupaten, serta pihak kepolisian maupun TNI. Di forum tersebut, beberapa warga menuntut penghentian aktivitas perusahaan, namun Ferdinand menegaskan bahwa kelompok tersebut bukan dari tiga desa operasional.

“Warga yang menyuarakan penolakan bukan bagian dari masyarakat yang selama ini bekerja sama dengan perusahaan. Di desa operasional, hubungan kami tetap baik,” katanya.

Perusahaan juga membantah tuduhan intimidasi. Ferdinand menegaskan kehadiran aparat keamanan justru untuk mencegah kekacauan setelah terjadi perusakan kantor kebun dan TBS perusahaan.

BACA JUGA:  INAHAFF 2025: BPJS Kesehatan Gandeng Enam Negara Perkuat Sistem Anti Kecurangan JKN

“Kami yang justru sering mendapat intimidasi. Aset kami beberapa kali dirusak,” tegasnya.

Dalam mediasi, Satgas PKA memaparkan temuan terkait PKKPR, status OSS, hingga tidak ditemukannya permohonan HGU PT KLS di Kantor Pertanahan Morowali Utara. Pemerintah juga menjelaskan bahwa sebagian kawasan yang diklaim perusahaan berada dalam wilayah transmigrasi bersertifikat sejak 1982–1983.

Menanggapi itu, PT KLS menyatakan siap bekerja sama dan mengikuti instruksi Satgas untuk menghadirkan seluruh dokumen pembelian serta perizinan.

“Kami siap duduk bersama. Semua pihak yang mengklaim lahan sebaiknya juga membawa dokumen resmi agar perbandingan dilakukan secara objektif,” ujar Ferdinand. Ia juga mempertanyakan mengapa klaim lahan baru muncul pada 2025.

“Perusahaan sudah di sini sejak 1997. Jika memang ada hak masyarakat yang diambil, tentu persoalannya muncul sejak lama. Ini penting untuk dijernihkan.”

PT KLS menegaskan bahwa persoalan yang terjadi saat ini bukan hanya soal sengketa lahan, tetapi juga menyangkut kepastian hukum bagi investor lokal yang telah berkontribusi puluhan tahun. Sulianti pun menekankan perlunya dukungan pemerintah daerah dan aparat keamanan demi menjaga iklim usaha.

“Yang kami butuhkan hanya kenyamanan berusaha. Investasi tidak akan berkembang jika terus diganggu oknum yang tidak memiliki dasar klaim,” ujarnya.

Menurut perusahaan, ketidakpastian hukum akan berdampak luas, bukan hanya bagi perusahaan, tetapi juga petani plasma, karyawan, dan ekonomi desa.

BACA JUGA:  Hari HAM Sedunia di Banggai: Aliansi Mahasiswa dan Rakyat Suarakan Perlawanan terhadap Perampasan Tanah 

PT KLS menyebut dinamika saat ini sebagai konflik yang muncul akibat klaim sepihak tanpa bukti kuat. Perusahaan meminta penyelesaian dilakukan secara terukur, berbasis data, dan mengikuti mekanisme hukum yang berlaku.

“Kami tidak pernah mengambil lahan milik warga. Kami menghormati hak masyarakat, dan kami juga berharap hak kami dihormati,” tegas Ferdinand.

Perusahaan juga menyoroti adanya pihak yang mencoba mengambil keuntungan dengan cara yang tidak benar. Meski begitu, PT KLS tetap terbuka terhadap dialog, termasuk dalam agenda peninjauan lapangan yang dilakukan Satgas pada 11 Desember 2025.

PT KLS berharap hubungan baik yang selama ini terjalin dengan masyarakat Mamosalato dan Bungku Utara dapat kembali pulih.

“Selama hampir tiga dekade, kami hidup berdampingan. Kami tidak ingin konflik ini dimanfaatkan pihak yang tidak bertanggung jawab,” ujarnya.

Perusahaan juga meminta pemerintah memberikan kepastian regulasi, terutama terkait perizinan, dokumen tata ruang, PKKPR, dan migrasi OSS.

Menurut PT KLS, kontribusi ekonomi sektor sawit lokal masih sangat penting bagi Sulawesi Tengah. Tanpa iklim usaha yang stabil, potensi daerah akan terhambat.

“Komitmen kami tetap sama sejak 1997: hadir, berinvestasi, dan tumbuh bersama masyarakat,” tutup Sulianti.

Dengan seluruh proses klarifikasi, mediasi, dan pemeriksaan dokumen yang terus berjalan, PT KLS berharap penyelesaian dapat dicapai secara elegan, adil, dan sesuai aturan. (*)