BANGGAI KECE- Sorong, Papua Barat Daya – Memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia yang jatuh pada 10 Desember 2025, Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Wilayah Sorong Raya menggelar aksi dan penyampaian pernyataan sikap yang dipusatkan di depan Ellyn Studio, Jalan Basuki Rahmat, Remu Utara, Distrik Sorong Timur, Kota Sorong.
Sebelum menuju titik pusat kegiatan, massa aksi berkumpul di sejumlah titik, antara lain Sorpus, Jalan Baru, Halte Dum, Malanu (depan kios Anda), Kilo 10 lampu merah, dan Alun-alun Aimas.
Panitia aksi meminta wartawan dan awak media berada di barisan depan untuk mendokumentasikan pernyataan sikap yang akan dibacakan secara terbuka kepada masyarakat.
Dalam kegiatan tersebut, KNPB Sorong Raya menyatakan bahwa penyampaian sikap ini ditujukan kepada seluruh rakyat Papua sebagai bentuk refleksi dan laporan kondisi HAM dalam dua tahun terakhir.
Laporan Kondisi HAM versi KNPB
Dalam pernyataannya, KNPB menyampaikan bahwa berdasarkan laporan lembaga gereja dan organisasi HAM, situasi HAM di Papua memasuki “fase darurat”. Mereka menilai terdapat pola baru operasi keamanan berupa serangan udara dan pengeboman yang memaksa ribuan warga mengungsi ke hutan tanpa akses makanan dan obat-obatan.
KNPB juga menyinggung dugaan:
Pembunuhan di luar hukum terhadap warga sipil, termasuk petani, pelajar, dan masyarakat yang dianggap mencurigakan.
Kriminalisasi anak-anak dan pelajar Papua, bahkan di bawah usia 12 tahun.
Dugaan penyiksaan selama pemeriksaan.
Laporan gereja terkait kekerasan seksual terhadap perempuan Papua di wilayah operasi.
KNPB menyebut bahwa berbagai tindakan tersebut menurut mereka berkaitan dengan kepentingan industri ekstraktif. Mereka menyinggung proyek tambang, blok Wabu dengan potensi 8,171 juta ons emas, ekspansi sawit seluas 1,8 juta hektare di Sorong dan daerah lainnya, serta proyek pangan (food estate) dan proyek IVE yang disebut membawa dampak perampasan tanah serta kerusakan ekologis.
Menurut KNPB, negara dinilai menggunakan kekerasan sebagai “instrumen ekonomi kolonial” dan memperluas pembangunan pos militer yang berdampak pada penyempitan ruang hidup masyarakat adat.
Organisasi ini juga menyoroti penolakan pemerintah Indonesia terhadap akses lembaga internasional, termasuk PBB, Pacific Islands Forum (PIF), Melanesian Spearhead Group (MSG), dan badan pengawas HAM internasional lainnya. KNPB menilai hal tersebut sebagai indikasi bahwa terdapat situasi kemanusiaan yang perlu dipantau secara independen.
—
Seruan KNPB kepada Komisi HAM PBB
KNPB menyerukan agar Komisi HAM PBB:
meningkatkan tekanan diplomatik,
memperkuat pemantauan,
membuka jalan bagi resolusi resmi Dewan HAM PBB mengenai Papua.
Mereka menilai bahwa solusi sejati tidak dapat dicapai melalui skema otonomi atau kebijakan sektoral, melainkan melalui “depolitisasi” yang menurut mereka harus dilakukan melalui referendum penentuan nasib sendiri.
10 Tuntutan Strategis KNPB Wilayah Sorong Raya
Dalam momentum Hari HAM Sedunia 2025, KNPB Sorong Raya menyampaikan sepuluh tuntutan strategis sebagai berikut:
1. Hentikan operasi ofensif, serangan udara, dan pemboman kampung oleh pasukan non-organik di Papua.
2. Buka akses tanpa syarat bagi PBB, jurnalis internasional, lembaga kemanusiaan, dan pemantau independen.
3. Bebaskan seluruh tahanan politik Papua, termasuk pelajar dan anak-anak.
4. Hentikan eksploitasi industri ekstraktif, termasuk tambang, blok Wabu, sawit, dan food estate.
5. Hentikan pengambilalihan tanah adat untuk pembangunan pos militer dan kembalikan tanah kepada pemiliknya.
6. Laksanakan reparasi dan restitusi atas tanah adat dan wilayah yang rusak akibat operasi militer dan eksploitasi.
7. Hentikan pemutusan akses komunikasi, kriminalisasi simbol identitas, dan pemblokiran internet.
8. Bangun mekanisme pemantauan internasional jangka panjang terkait Papua.
9. Mendorong mandat Pelapor Khusus PBB untuk masyarakat adat Papua.
10. Laksanakan referendum penentuan nasib sendiri sebagai langkah final penyelesaian konflik.
Dalam penutup pernyataan sikapnya, KNPB Sorong Raya menegaskan bahwa menurut mereka, tidak akan ada keadilan, keamanan, maupun pemulihan martabat selama struktur yang mereka sebut sebagai “kolonial” masih dipertahankan. (*)




