BeritaNewsOpini

Perceraian Marak: Keluarga Runtuh, Generasi Rapuh!

1152
×

Perceraian Marak: Keluarga Runtuh, Generasi Rapuh!

Sebarkan artikel ini

Oleh: Putri Yulinar Ibrahim, S.M

Perceraian pada akhir-akhir ini marak terjadi, angka perceraian tinggi di tingkat nasional dan juga daerah. Disisi lain angka pernikahan menurun.

Pada minggu terakhir Agustus 2025, kata kunci ”cerai” mencapai puncak pencarian tertinggi sepanjang tahun. Google Trends turut mencatat popularitas kata kunci tersebut tak surut hingga memuncak lagi di minggu ketiga Oktober.

Fenomena ini bukan sekadar rasa ingin tahu publik terhadap kisah rumah tangga yang berakhir. Di era digital, perceraian bukan lagi urusan pribadi semata, melainkan ruang empati dan refleksi kolektif. (kompas.id)

Menurut data BPS, pada 2024 terdapat 308.956 kasus cerai gugat atau sekitar 77,2 persen dari total perceraian nasional. Sedangkan kasus cerai talak, yaitu yang diajukan oleh pihak suami, sebanyak 85.652 kasus.

Fenomena ini menunjukkan bahwa perempuan kini memiliki keberanian lebih besar untuk menentukan nasibnya sendiri, termasuk ketika memilih keluar dari relasi yang tidak lagi sehat. (voi.id)

Tren perceraian terjadi baik di usia pernikahan muda dan usia senja (grey divorce). Solusi dari permasalah pernikahan yang tidak lagi sehat berujung ialah perceraian. Bahkan sering kita temui fenomena dimana seseorang menunjukkan kebanggan setelah perceraian.

Bisa dilihat bagaimana perubahan nilai sosial dan budaya di masyarakat saat ini, dimana perceraian semakin dinormalisasi dan tabu.

Padahal kita ketahui ketika perpisahan terjadi antara ayah dan ibu, dampak terbesar sering kali dirasakan oleh anak. Kondisi ini dapat mempengaruhi kesehatan mental dan kondisi psikologis-nya.

BACA JUGA:  Biadab, Seorang Sopir di Luwuk Utara Tega Setubuhi dan Jual Anak Bawah Umur 

Tak jarang, anak-anak yang orang tuanya bercerai menjadi lebih pendiam, tertutup, bahkan mengalami perubahan dalam cara bergaul dengan teman-temannya. (antaranews.com)

Data terbaru menyoroti pergeseran signifikan dalam faktor penyebab perceraian. Jika dilihat dari data dua bulan terakhir (September dan Oktober), perselisihan dan pertengkaran terus-menerus melonjak tajam menjadi penyebab utama.

Akan tetapi perselisihan bisa terjadi akibat dari penyebab terbesar ialah masalah ekonomi yang menimpa masyarakat kita, beberapa faktor lain juga mengalami peningkatan atau muncul kembali yaitu judi, menjadi faktor penyebab cerai karena judi pada Oktober ini menjadi yang tertinggi selama 10 bulan terakhir. Kemudian kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Penyebab dari meningkatnya angka perceraian menunjukkan lemahnya pemahaman masyarakat tentang pernikahan.

Perceraian menyebabkan ketahanan keluarga runtuh dan generasi rapuh. Dampak perceraian tidak hanya di rasakan pihak suami istri saja, melainkan kepada keluarga besar kedua pihak bahkan anak-anak. Jika mereka lebih sadar dan siap atas perpisahan, belum tentu dengan anak-anak mereka, resiko dan luka perceraian orang tua akan berpengaruh besar terhadap perkembangan sehingga menjadi generasi rapuh.

Melihat angka perceraian yang terus meningkat tentu saja Pemerintah tidak hanya berdiam diri melainkan melakukan upaya untuk mengurangi gelombang perceraian. Melalui Kemenag dan lembaga mitra melakukan beberapa program sebagai langkah penanganan.

Mulai dari program Bimbingan Perkawinan (Bimwin) untuk calon pengantin guna memperkuat pemahaman sebelum menikah, Sekolah Relasi Suami Istri (SERASI) yang ditujukan khusus bagi pasangan muda usia pernikahan 1–5 tahun yang rentan perceraian; penguatan program ketahanan keluarga melalui kerja sama dengan organisasi masyarakat, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dalam program Gerakan Keluarga Maslahat Nahdlatul Ulama (GKMNU); serta optimalisasi layanan keluarga sakinah di tingkat desa dan pengembangan fasilitator bimbingan keluarga. Termasuk yang terakhir dengan menyosialisasikan “tepuk sakinah” yang juga dijadikan prasyarat mengajukan pernikahan. (muslimahnews.net)

BACA JUGA:  Danposal Luwuk Dikukuhkan sebagai Mabinsa dan Pengurus Saka Bahari Banggai Masa Bakti 2024–2029

Apakah solusi yang di berikan dapat menurunkan gelombang perceraian ? Nyatanya tidak, tempat keluarga muslim hidup saat ini dalam sistem sekuler yang menjadi standar asas kemanfaatan. Alhasil banyak pasangan tidak memiliki standar bahwa pernikahan bagian dari ibadah kepada Allah, tidak memiliki visi dan misi pernikahan yang jelas, tidak menjadikan pernikahan agar membuat mereka lebih dekat dengan Sang Pencipta-Nya.

Sistem kapitalisme liberal, melahirkan nilai-nilai dan perilaku bebas yang menjamur di masyarakat, baik secara langsung atau di media sosial. Ini memicu syahwat dan menciptakan perselingkuhan di luar rumah demi meraih kenikmataan sesaat. Ditambah lagi sistem hukum yang mandul yang mengagungkan hak asasi manusia sehingga perilaku rusak sekalipun, sepanjang suka sama suka, tidak akan dijerat hukum.

Dalam Islam keluarga mempunyai kedudukan besar dalam kehidupan manusia, menetapkan satu-satunya mewujudkan keluarga melalui pernikahan.

Allah Swt. berfirman,
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.”
(QS Ar-Rum [30]: 21).
Ayat ini menegaskan bahwa pernikahan bukan sekadar penyatuan dua individu, tetapi juga wadah menumbuhkan ketenangan (sakinah), cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah). Serta, membangun keluarga yang kokoh serta melahirkan generasi tangguh namun perlu di sadari mewujudkan keluarga yang kokoh butuh dukungan sistem yang tangguh salah satunya mulai dari pendidikan. Sistem pendidikan Islam mengantarkan pada pembinaan kepribadian Islam yang kokoh dan siap membangun keluarga samara.

BACA JUGA:  Kades Tirta Sari Serahkan Sertifikat Elsimil di Hari Bahagia Indriani dan Indrawan

Perlunya Sistem Pendidikan yang berstandarkan pada kurikulum Islam, sebagai contoh pada masa Kekhalifahan Islam, sekolah-sekolah menerapkan hal ini untuk mendukung kesiapan para pemuda memasuki jenjang usia pernikahan.

Interaksi lawan jenis yang di atur dalam Islam hanya boleh pada pendidikan, kesehatan juga muamalah. Sebagai bentuk penjagaan interaksi wanita dan pria agar tidak keluar dari pondasi Syarit Islam.
Seperti itulah, Sistem pergaulan yang berlandaskan pada Islam menjaga hubungan dalam keluarga dan sosial masyarakat tetap harmonis berlandaskan pada ketakwaan.

Ketahanan keluarga juga harus didukung sistem ekonomi yang berlandaskan Islam yang diterapkan negara. Sistem ekonomi dalam Islam menjamin setiap individu mendapatkan kesejahteraan. Sehingga sudah menjadi kewajiban negara membuka lapangan pekerjaan sebesar-besarnya bagi kaum laki-laki agar mampu menafkahi keluarganya. Dengan demikian, tugas istri hanya fokus mengurus rumah tangga dan mendidik putra putrinya tanpa di “paksa” keadaan ekonomi harus bekerja juga di luar rumah, dalam Islam tidak ada larangan wanita bekerja di luar rumah karena itu adalah pilihan bukan keterpaksaan.

Wallahu allam bish shawab’. (*)