Banggaikece.id– Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah, Musliman, menegaskan Kaukus DPRD Provinsi Penghasil Nikel merupakan langkah strategi memperkuat posisi politik dan fiskal daerah terhadap kebijakan sektor pertambangan.
Menurutnya, 5 daerah penghasil nikel, termasuk Sulteng, Sulsel, Sultra, Maluku Utara, dan Papua Barat Daya belum memperoleh porsi Dana Bagi Hasil (DBH) yang sebanding besarnya kontribusi terhadap penerimaan negara.
“Sementara dampak sosial, kerusakan lingkungan, dan infrastruktur akibat aktivitas penambangan justru lebih banyak ditanggung oleh daerah,” ujar Musliman di Palu pada Senin (13/10/2025).
Menurut Politisi Partai GOLKAR ini, Kaukus sebagai wadah bersama DPRD Provinsi penghasil nikel menyatukan suara, agar mendapat manfaat yang adil dari sumber daya alamnya.
Mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Palu ini menjelaskan, fokus utama Kaukus memperjuangkan revisi mekanisme Dana Bagi Hasil (DBH) Minerba, agar lebih berpihak pada daerah penghasil.
Ia menilai, rumus DBH saat ini tidak mencerminkan kondisi riil lapangan karena tidak mempertimbangkan tingkat kerusakan lingkungan, beban sosial, maupun kebutuhan pemulihan wilayah tambang.
“Daerah seperti Sulawesi Tengah menjadi tulang punggung ekspor nikel nasional, namun PAD yang diterima tidak sebanding. Kaukus DPRD akan memperjuangkan perubahan skema DBH,” tegasnya.
Saat ini porsi DBH yang diterima daerah masih sangat kecil dibandingkan dengan kontribusi besar yang diberikan kepada negara.
Sebagai contoh, tahun 2024 Sulteng menerima Rp222 miliar DBH Minerba, padahal kontribusi sektor tambang dari daerah ini mencapai Rp571 triliun terhadap pendapatan negara.
Selama ini, pungutan hanya dilakukan di “mulut tambang”, yakni pada tahap produksi bahan mentah. Padahal, sebagian besar nilai tambah justru dihasilkan di tahap hilirisasi, saat bahan mentah diolah di kawasan industri.
“Kalau pungutan DBH bisa dilakukan bukan hanya di mulut tambang, tapi juga di mulut industri, maka potensi penerimaan daerah akan lebih besar,” jelasnya.
Misalnya, jika daerah penghasil mendapat 10 persen dari total kontribusi penerimaan negara, Sulteng bisa menerima puluhan triliun rupiah.
Angka puluhan trilyun itu, tentu lebih besar dari total jumlah APBD Sulteng tahun 2024 sekitar Rp5,67 triliun.
Peningkatan DBH akan berdampak signifikan terhadap kemampuan fiskal pemerintah daerah dalam membiayai pembangunan dan pelayanan publik.
Tambahan pendapatan tersebut, pemerintah daerah dapat memperluas program prioritas di sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur, hingga pemulihan lingkungan.
“Kalau DBH naik, banyak program bisa terlaksana. Jalan-jalan ke wilayah tambang bisa diperbaiki, layanan dasar bisa diperkuat, dan masalah sosial-lingkungan akibat tambang bisa diatasi,” ujarnya.
Peningkatan CSR dan PPM
Selain aspek fiskal, Kaukus juga diharapkan menjadi sarana untuk memperkuat peran DPRD dalam pengawasan dan penyusunan kebijakan di sektor pertambangan.
Termasuk mendorong agar setiap izin usaha tambang wajib memenuhi kewajiban lingkungan, reklamasi, serta keterlibatan masyarakat lokal.
Anggota Komisi III DPRD Sulteng ini, juga menyoroti lemahnya pengawasan terhadap pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR) dan Program Pemberdayaan Masyarakat (PPM).
Menurutnya, banyak program CSR yang tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat lingkar tambang, bahkan tidak dilaporkan secara transparan kepada pemerintah daerah maupun DPRD.
Perubahan Regulasii yang menegaskan besaran minimal alokasi CSR dan kewajiban perusahaan untuk melaporkannya. CSR dan PPM ini harus menjadi instrumen keadilan sosial, bukan sekedar formalitas,” jelasnya.
Perubahan Regulasi DBH
Sebagai tindak lanjutnya, Kaukus DPRD Penghasil Nikel akan membentuk Tim Kerja yang berfungsi sebagai pusat koordinasi dan advokasi kebijakan.
Pertemuan berikutnya direncanakan akan diadakan di Palu, pada Bulan Desember 2025 mendatang, untuk membahas agenda bersama dan menyusun rekomendasi yang akan disampaikan kepada pemerintah pusat.
Langkah advokasi berikutnya, mendorong lahirnya regulasi baru yang dapat meningkatkan besaran Dana Bagi Hasil (DBH) Minerba bagi daerah penghasil nikel.
“Mendorong advokasi politik di tingkat nasional agar lahir regulasi baru yang lebih adil bagi daerah penghasil,” ujar Musliman.
Menurutnya rumus DBH yang berlaku saat ini masih bersifat sentralistik, pembagian hasil tambang lebih banyak terserap di tingkat pusat.
Padahal, daerah penghasil menghadapi tekanan besar, baik dari infrastruktur, kerusakan lingkungan, maupun beban sosial akibat ekspansi industri pertambangan.
Agar ada revisi terhadap peraturan turunan dari UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD), khususnya yang mengatur mekanisme distribusi DBH Minerba.
“Kaukus akan menyusun rekomendasi kebijakan bersama untuk disampaikan ke Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, Kemendagri, dan DPR RI,” pungasnya.***




