News

Benteng Perlindungan Konsumen: BPSK Banggai sebagai Jawaban atas Derita Panjang Masyarakat 

1069
×

Benteng Perlindungan Konsumen: BPSK Banggai sebagai Jawaban atas Derita Panjang Masyarakat 

Sebarkan artikel ini
Risno Mina SH., MH.

Oleh: Risno Mina SH., MH., (Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Luwuk)

Fenomena ketidakadilan ekonomi kerap merembes hingga ranah hukum, dan konsumen, terutama yang tinggal di wilayah terpencil, sering kali berada dalam posisi paling lemah ketika berhadapan dengan pelaku usaha yang lebih dominan. 

Di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, dengan jumlah penduduk 374,9 ribu jiwa data per tahun 2024 dan struktur ekonomi yang bergantung pada sektor pertanian, perikanan, serta perdagangan skala kecil, isu perlindungan konsumen tidak bisa dipandang sebelah mata. Kondisi geografis yang terdiri dari wilayah daratan yang luas dan juga terdapat gugusan pulau kecil menciptakan rantai distribusi yang rawan penyimpangan. Akibatnya, sengketa konsumen-produsen menjadi fenomena yang sering terjadi. 

Konsumen Banggai dalam Jeratan Ketidakberdayaan Hukum

Permasalahan konsumen di Banggai sesungguhnya bukan hanya perkara ekonomi, tetapi juga refleksi dari ketidakadilan hukum yang menahun. Kasus gas LPG 3 kg menjadi ilustrasi konkret. Gas bersubsidi yang diperuntukkan bagi rumah tangga miskin justru kerap dijual di atas Harga Eceran Tertinggi (HET), bahkan mencapai Rp30.000 per tabung dari harga resmi Rp24.000. Lebih jauh, keterlambatan distribusi, tabung bocor, dan praktik penjualan melalui pangkalan ilegal menimbulkan beban ganda: kerugian finansial sekaligus ancaman keselamatan. Rumitnya prosedur hukum dan tingginya biaya membuat konsumen enggan melapor, sehingga pelaku usaha terus mempertahankan praktik curang. Situasi ini membentuk lingkaran setan ketidakberdayaan hukum: kerugian berulang tanpa penyelesaian.

Polanya juga terlihat dalam sengketa pembiayaan kendaraan. Lembaga pembiayaan sering melakukan penarikan paksa tanpa prosedur sah, bahkan pada kasus yang masih diperdebatkan status kreditnya. Bagi masyarakat Banggai, kendaraan bukan sekadar sarana transportasi, melainkan bagian penting dari mata pencaharian. Penarikan secara sewenang-wenang bukan hanya melanggar kontrak, tetapi juga mencabut hak konsumen atas kepastian hukum sebagaimana dijamin dalam UUPK. Sementara perusahaan pembiayaan memiliki akses terhadap penasihat hukum, konsumen kecil justru terjebak dalam ketimpangan kekuasaan yang merugikan.

BACA JUGA:  Persik Kintom & Dynamites FC Amankan Tiket Terakhir ke Semifinal Piala Hari Pahlawan U-17 2025

Bahkan sengketa sederhana, seperti hilangnya pakaian di jasa laundry, turut memperlihatkan lemahnya posisi konsumen. Tanpa adanya standar akuntabilitas yang jelas, kerugian yang dialami konsumen tidak memiliki mekanisme penyelesaian yang layak. Meski tampak remeh, kasus ini menegaskan bahwa ketidakpastian hukum juga merembes hingga layanan sehari-hari yang paling sederhana.

Dari berbagai kasus tersebut, mulai dari LPG, leasing, hingga laundry terlihat benang merah yang sama: konsumen Banggai selama ini hidup dalam sistem hukum yang timpang, dengan akses terbatas pada mekanisme penyelesaian yang cepat, murah, dan dekat.

Landasan Hukum dan Peran Strategis BPSK

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) memberikan dasar hukum yang kuat bagi konsumen untuk memperjuangkan haknya. Pasal 4 memberikan jaminan hak atas informasi yang benar, hak untuk menyampaikan pendapat, serta hak atas ganti rugi. Di sisi lain, Pasal 7 dan Pasal 19 mewajibkan pelaku usaha untuk bertanggung jawab atas kerugian konsumen, dengan ancaman sanksi pidana hingga lima tahun penjara sebagaimana diatur Pasal 62.

Lebih dari itu, UUPK menghadirkan mekanisme penyelesaian sengketa non-litigasi melalui pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Pasal 49 hingga Pasal 58 secara eksplisit menugaskan BPSK untuk menyelesaikan sengketa secara cepat, murah, dan sederhana. Lembaga ini dibentuk di tingkat kabupaten/kota dengan fungsi sebagai forum mediasi, arbitrase, sekaligus pengambil putusan yang mengikat. Skema tersebut jauh lebih realistis dibanding jalur pengadilan yang dapat memakan waktu lama dan biaya besar. Dengan demikian, secara normatif, BPSK menjadi jawaban kelembagaan atas defisit keadilan yang dialami konsumen kecil.

BPSK Banggai: Antara Harapan dan Tantangan 

Kehadiran BPSK di Kabupaten Banggai pada tahun 2025  menandai sebuah momentum penting dalam sejarah perlindungan konsumen di daerah ini. Selama bertahun-tahun, masyarakat hanya bergantung pada BPSK Palu yang berjarak ratusan kilometer, sehingga akses terhadap penyelesaian sengketa menjadi sangat terbatas. Kini, dengan adanya BPSK di Banggai, warga dapat mengajukan perkara langsung di wilayahnya sendiri dengan target penyelesaian maksimal 21 hari kerja. Bagi nelayan maupun petani, keberadaan lembaga ini bukan hanya sekadar penghematan biaya, melainkan juga simbol terbukanya akses keadilan yang sebelumnya terhambat oleh jarak dan keterbatasan sarana.

BACA JUGA:  Kades Tirta Sari Serahkan Sertifikat Elsimil di Hari Bahagia Indriani dan Indrawan

Namun demikian, pendirian BPSK Banggai tidak terlepas dari problematika. Dugaan keterlibatan tokoh politik dalam proses seleksi anggota, sebagaimana diberitakan media daring Banggai Raya, menimbulkan keraguan publik terkait independensi lembaga ini. Padahal, legitimasi BPSK tidak semata ditentukan oleh keberadaan regulasi formal, tetapi juga oleh kepercayaan masyarakat terhadap netralitas dan profesionalitas anggotanya. Tanpa integritas, BPSK berisiko terjebak menjadi lembaga seremonial yang kehilangan makna substansial.

Efektivitas BPSK Banggai akan sangat ditentukan oleh kemampuannya menyelesaikan sengketa riil. Pertanyaan penting yang harus dijawab adalah: apakah BPSK berani menindak tegas praktik penyalahgunaan distribusi LPG yang melibatkan jaringan besar? Apakah ia mampu memberikan posisi yang seimbang antara konsumen kecil dengan perusahaan pembiayaan yang memiliki sumber daya hukum lebih kuat? Dan apakah lembaga ini dapat menetapkan standar akuntabilitas bagi usaha kecil, seperti penyedia jasa laundry? Apabila mandat UUPK dilaksanakan secara konsisten, BPSK berpotensi menjadi instrumen penting dalam menyeimbangkan relasi kekuatan antara konsumen dan pelaku usaha. Sebaliknya, jika gagal, BPSK hanya akan menambah deretan lembaga hukum yang eksistensinya sebatas formalitas tanpa daya transformasi nyata.

Lebih jauh, BPSK Banggai juga dituntut untuk merespons persoalan strategis lain, seperti sengketa akibat pemadaman listrik yang merugikan konsumen. Dalam praktiknya, PT PLN di wilayah ini kerap melakukan pemadaman bergilir untuk alasan pemeliharaan atau gangguan teknis. Sepanjang Juli hingga Agustus 2025, misalnya, masyarakat di Kecamatan Lobu dan sekitarnya mengalami pemadaman hingga delapan jam per hari. Dampaknya sangat signifikan: mulai dari kerusakan peralatan elektronik rumah tangga hingga hilangnya pendapatan usaha kecil, seperti warung atau usaha kuliner lainnya. Kondisi semakin berat ketika pemadaman dilakukan mendadak tanpa pemberitahuan yang memadai.

BACA JUGA:  Mahasiswa IPMANAPANDODE Sorong Raya Gelar Makan Bersama untuk Menandai Duka Tiga Malam

Berdasarkan ketentuan Pasal 19 UUPK, konsumen memiliki hak atas ganti rugi atas kerugian tersebut. Dalam konteks ini, BPSK dapat berperan sebagai forum mediasi antara warga dan PT PLN untuk menuntut kompensasi, baik berupa penggantian biaya perbaikan maupun pengurangan tagihan. Akan tetapi, tantangan muncul ketika BPSK tidak dibekali dengan kemampuan teknis untuk menilai secara objektif penyebab pemadaman, apakah disebabkan oleh kelalaian PLN ataukah termasuk kategori force majeure. Keterbatasan ini dapat menghambat upaya pemberian keadilan yang layak, sekaligus memperburuk ketergantungan masyarakat pada pasokan listrik yang tidak stabil, sehingga menambah beban ekonomi terutama di wilayah pedesaan Banggai.

BPSK sebagai Benteng Keadilan Distributif

Kehadiran BPSK di Banggai patut dipandang sebagai bagian dari upaya negara mewujudkan keadilan distributif, yakni melindungi kelompok rentan dari praktik eksploitatif pasar. Dalam konteks Banggai yang tengah bertumbuh dengan basis UMKM dan perdagangan lokal, BPSK memiliki potensi besar untuk menjadi katalisator demokrasi ekonomi, sehingga pembangunan tidak berlangsung dengan mengorbankan konsumen kecil.

Namun, keberhasilan BPSK sangat bergantung pada implementasi di lapangan. Pemerintah daerah perlu memberikan dukungan penuh, baik dari segi anggaran maupun sosialisasi, sementara anggota BPSK dituntut menjaga profesionalisme dan integritas. Jika dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, BPSK Banggai berpotensi menjadi model perlindungan konsumen di kawasan timur Indonesia.

Sebaliknya, jika aspek integritas diabaikan, lembaga ini hanya akan menambah daftar panjang “benteng rapuh” hukum yang gagal memberi perlindungan nyata bagi rakyat.

Dengan demikian, BPSK tidak hanya sekadar institusi teknis, melainkan benteng keadilan yang menentukan apakah masyarakat Banggai akan terus hidup dalam ketidakberdayaan hukum, atau justru menemukan akses terhadap perlindungan dan keadilan yang sesungguhnya. (*)