BeritaNews

Ketika Birokrasi Kalah Cepat dari Medsos: Anggaran Survei Ratusan Juta di Banggai Dipertanyakan

456
×

Ketika Birokrasi Kalah Cepat dari Medsos: Anggaran Survei Ratusan Juta di Banggai Dipertanyakan

Sebarkan artikel ini

Banggaikece.id– Anggaran survei di Kabupaten Banggai kembali jadi sorotan publik. Dalam dokumen resmi, tercatat tiga kegiatan survei dengan total nilai Rp1 miliar.

Rinciannya, Survey Kondisi Jembatan sebesar Rp250 juta, Survey Investigasi Desain (SID) DAS Dongin Rp400 juta, serta Survey Kondisi Jalan Rp350 juta.

Besarnya anggaran ini mengingatkan pada kisah di Maluku Utara yang sempat viral. Di sana, Dinas PU mengusulkan Rp1,7 miliar untuk survei jalan rusak.

BACA JUGA:  Polres Bangkep Salurkan Sarana Kontak ke Rumah Ibadah di Desa Matanga, Perkuat Kemitraan dengan Masyarakat

Namun, Gubernur Sherly Tjoanda justru menolak, lalu memanfaatkan media sosial untuk mengajak masyarakat mengirimkan laporan langsung. Hasilnya, dalam hitungan hari ratusan laporan masuk—tanpa biaya sepeser pun.

Perbandingan ini menghadirkan pertanyaan mendasar: apakah survei dengan nilai miliaran benar-benar masih relevan di era ponsel pintar, internet cepat, dan partisipasi publik yang begitu terbuka? Ketika masyarakat bisa melaporkan kondisi jalan, jembatan, hingga drainase lewat video atau foto, birokrasi yang lamban dan berbiaya besar terasa semakin sulit diterima.

BACA JUGA:  KPP Pratama Gelar Tax Goes To Campus di Unismuh Luwuk, Bangun Kesadaran Mahasiswa Tentang Pajak

Era media sosial telah mempersempit jarak rakyat dengan pemerintah. Yang dulu memerlukan survei manual berbulan-bulan, kini bisa dilakukan lewat unggahan singkat dengan tagar khusus. Dan yang lebih penting, publik bersedia membantu bila merasa suaranya dihargai.

BACA JUGA:  Selamat! Dosen Unismuh Luwuk, Firmansyah Fality Raih Gelar Doktor di UMI Makassar

Seperti yang ditunjukkan Maluku Utara, biaya besar bukan satu-satunya jalan. Justru langkah kolaboratif dengan masyarakat bisa lebih cepat, transparan, sekaligus hemat anggaran. Karena pada akhirnya, lubang paling berbahaya bukan di jalan raya, melainkan di kas negara jika dibiarkan terus bocor. (*)