BeritaNewsOpiniPolitik

Tunjangan Rumah DPR, Cermin Hedonisme Kekuasaan

2726
×

Tunjangan Rumah DPR, Cermin Hedonisme Kekuasaan

Sebarkan artikel ini
Suryani M. Sy. Zubair, SE

Oleh: Suryani M. Sy. Zubair, SE

Belakangan ini publik kembali digegerkan oleh isu tunjangan yang diterima anggota DPR RI. Selain gaji pokok, para wakil rakyat memperoleh berbagai fasilitas tambahan, mulai dari tunjangan perumahan, transportasi, hingga komunikasi. Jika dihitung totalnya, penerimaan mereka bisa melampaui Rp100 juta setiap bulan. 

Angka ini terasa mencolok, terlebih bila dibandingkan dengan kondisi masyarakat yang masih bergulat dengan harga kebutuhan pokok yang naik dan lapangan pekerjaan yang semakin terbatas (BBC News Indonesia, 19/08/2025).

Tidak mengherankan jika sejumlah pengamat menilai kebijakan tersebut tidak pantas diambil di tengah sulitnya kondisi ekonomi masyarakat. Apalagi, kinerja DPR sendiri masih menuai banyak kritik dan dianggap belum sebanding dengan fasilitas yang mereka nikmati.

Di sisi lain, rakyat harus berjuang dengan biaya hidup yang kian menekan, sementara wakil mereka justru bergelimang kenyamanan. 

Tunjangan rumah dengan nilai fantastis itu menunjukkan kurangnya empati, bahkan menggambarkan wajah hedonisme kekuasaan. Sayangnya, fenomena pejabat publik yang menampilkan gaya hidup mewah di tengah penderitaan rakyat bukan hal baru.

BACA JUGA:  Kades Tirta Sari Serahkan Sertifikat Elsimil di Hari Bahagia Indriani dan Indrawan

Sistem Hari Ini

Fenomena ini sejatinya bukan sesuatu yang mengejutkan dalam sistem demokrasi kapitalis. Kesenjangan memang bawaan dari sistem ini, karena orientasi utamanya adalah materi dan keuntungan pribadi. Politik transaksional dianggap lumrah, sebab jabatan dilihat sebagai sarana mengeruk keuntungan, bukan sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan.

Dalam logika sekuler-kapitalis, kekuasaan kerap menjadi jalan untuk meraih kepuasan duniawi. Agama dipisahkan dari kehidupan, sehingga para penguasa merasa tidak bersalah menggunakan uang rakyat demi kenyamanan pribadi. Pada akhirnya, empati terhadap rakyat semakin memudar dari jiwa para pemimpin.

Lebih ironis lagi, para anggota DPR memiliki kewenangan untuk menetapkan sendiri besaran anggaran negara, termasuk tunjangan mereka. Tidak ada mekanisme yang benar-benar mengikat agar keputusan-keputusan itu selaras dengan penderitaan masyarakat. Maka wajar bila yang lahir justru kebijakan yang lebih menguntungkan elit politik ketimbang rakyat luas.

BACA JUGA:  12 Peserta Asal Banggai Ikuti Ujian Profesi Advokat Serentak PERADI

Dari sini terlihat jelas bahwa jabatan lebih sering dijadikan alat memperkaya diri. Klaim sebagai wakil rakyat sekadar retorika, sementara amanah nyaris kehilangan makna. Dengan prestasi yang minim dan kinerja yang kerap menuai kritik, fasilitas besar yang mereka nikmati terasa tidak sepadan dengan pengabdian yang seharusnya mereka jalankan.

Perspektif Islam

Ada perbedaan mendasar antara konsep wakil rakyat dalam demokrasi dan dalam Islam. Islam berlandaskan akidah, dengan syariat Allah sebagai pedoman, bukan akal atau kepentingan manusia. Kepemimpinan dalam Islam adalah amanah besar; seorang pemimpin hakikatnya adalah pelayan bagi rakyatnya. 

Rasulullah SAW bersabda: “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka” (HR. Ibnu Asakir, Abu Nu’aim). Dalam riwayat lain juga disebutkan: “Imam (khalifah) adalah penggembala, dan ia bertanggung jawab atas gembalaannya” (HR. Muslim).

Seorang pemimpin dituntut memiliki kepribadian Islam yang kuat: bertakwa, lembut terhadap rakyat, dan jauh dari sikap zalim. Rasulullah SAW juga mengingatkan bahwa jabatan adalah amanah yang pada hari kiamat bisa berbuah kehinaan, kecuali bagi pemimpin yang menunaikan kewajiban dengan benar (HR. Muslim).

BACA JUGA:  Mahasiswa IPMANAPANDODE Sorong Raya Gelar Makan Bersama untuk Menandai Duka Tiga Malam

Sejarah Islam mencatat teladan pemimpin yang sangat sederhana. Salman Al-Farisi, misalnya, ketika diangkat menjadi gubernur Madain pada masa Khalifah Umar bin Khattab, tetap hidup sederhana dan berbaur dengan rakyat tanpa kemewahan. 

Ia bahkan tak segan membantu masyarakat memanggul barang dagangan di pasar.

Inilah standar kepemimpinan dalam Islam: pemimpin yang mendahulukan rakyat sebelum dirinya, dan benar-benar menjadi pelayan umat. Tugas utamanya adalah menjaga agama (hirasatud-din) dan mengatur urusan dunia rakyat (siyasatud-dunya).

Karena itu, wajar bila publik bertanya: di tengah kondisi rakyat yang serba sulit, pantaskah para wakil rakyat menikmati tunjangan rumah hingga puluhan juta rupiah per bulan? Yang sesungguhnya diharapkan masyarakat adalah sosok pemimpin yang sederhana, berempati, dan sepenuhnya mengabdi untuk rakyatnya. (*)