NewsOpini

Kurikulum Cinta Kemenag: Proyek Deradikalisasi Sejak Dini

993
×

Kurikulum Cinta Kemenag: Proyek Deradikalisasi Sejak Dini

Sebarkan artikel ini

Oleh: Lestari, S.Mat

Kementerian Agama Republik Indonesia secara resmi meluncurkan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) sebagai wajah baru pendidikan Islam yang diklaim lebih humanis, inklusif, dan spiritual. Kurikulum ini hadir sebagai respons terhadap krisis kemanusiaan, intoleransi, dan kerusakan lingkungan yang kian mengkhawatirkan. Dirjen Pendidikan Islam Kemenag, Amien Suyitno, menyatakan bahwa KBC mendorong kesadaran ekologis dan solidaritas sosial sejak dini.

Menurutnya, kurikulum ini menekankan empat aspek utama, salah satunya adalah membangun hablum minallah (cinta kepada Tuhan), di mana anak-anak sejak dini dibiasakan memperkuat hubungan dengan Allah (Republika.co.id, 24/7/2025).

Rektor UIN Sumatera Utara, Prof. Nurhayati, menyebut gagasan KBC sebagai kebutuhan mendesak dalam sistem pendidikan nasional yang dianggap kehilangan sentuhan kemanusiaan. “Kurikulum berbasis cinta yang diusung Menteri Agama Prof. Nasaruddin Umar merupakan pondasi utama pendidikan yang berorientasi pada kasih sayang dan kemanusiaan,” jelasnya.

Sekilas, kurikulum ini terdengar sangat ideal. Namun benarkah demikian? Justru sebaliknya. Di balik kemasan “cinta”, terdapat agenda yang berbahaya, salah satunya adalah proyek deradikalisasi sejak dini. Hal ini tampak dari labelisasi terhadap para ulama dan pengemban dakwah kritis sebagai radikal atau ekstremis, pembatalan acara keislaman berskala besar, hingga persekusi terhadap ulama pengkritik penguasa yang berujung tragis seperti wafatnya Ustaz Maaher Ath-Thuwailibi di dalam tahanan.

BACA JUGA:  Biadab, Seorang Sopir di Luwuk Utara Tega Setubuhi dan Jual Anak Bawah Umur 

Kurikulum ini tampaknya memanfaatkan narasi positif untuk menyamarkan agenda ideologis Kemenag. Istilah radikalisme kerap diarahkan kepada ajaran Islam kaffah—Islam yang utuh dan menyeluruh termasuk dalam aspek politik. Ironisnya, generasi muda justru diajarkan bersikap keras terhadap sesama Muslim yang menginginkan penerapan syariat secara kaffah, namun sangat lembut dan toleran terhadap non-Muslim. Bukti nyata terlihat dari perlakuan berbeda dalam ranah sosial dan keagamaan, di mana Muslim yang mengusung ideologi Islam dianggap ancaman, sementara non-Muslim diperlakukan dengan sangat santun.

Singkatnya, Kurikulum Berbasis Cinta ini tidak jauh berbeda dari program Moderasi Beragama, yang bertujuan membentuk generasi Muslim yang “moderat”—dalam artian tidak fanatik terhadap ajaran agamanya sendiri. Program ini mempromosikan toleransi yang kebablasan, bahkan mengarah pada sinkretisme. Padahal dalam Islam, toleransi kepada pemeluk agama lain berarti membiarkan dan menghormati mereka menjalankan ibadahnya, bukan mencampuradukkan ajaran.

BACA JUGA:  Mahasiswa IPMANAPANDODE Sorong Raya Gelar Makan Bersama untuk Menandai Duka Tiga Malam

Kondisi ini tidak lepas dari kebencian yang melekat pada para pengusung ideologi sekuler-liberal terhadap Islam sebagai sistem hidup yang kaffah, terutama dalam konteks penerapannya melalui institusi khilafah. Khilafah adalah institusi yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Maka, setiap aktivis dakwah perlu mengambil peran penting.

Pertama, memperhatikan dan menyaring setiap materi dakwah agar tetap murni sesuai akidah Islam. Ini penting agar umat tidak terjebak pada Islam parsial, Islam fobia, atau mendukung program seperti KBC tanpa sadar telah membenci saudara seakidah yang memperjuangkan Islam sebagai ideologi. Kedua, pengemban dakwah harus mempelajari, memahami, dan menyebarkan sejarah Islam yang utuh kepada generasi Muslim, bahwa Islam telah memberikan kontribusi besar terhadap peradaban dunia.

Sejarah telah mencatat lebih dari 13 abad kejayaan di bawah naungan Khilafah Islamiyah, di mana ilmu pengetahuan dan peradaban berkembang pesat dalam lingkungan yang beradab dan bermartabat. Karen Armstrong, seorang pemikir lintas agama, bahkan mengakui dalam bukunya Holy War, bahwa “There was no tradition of religious persecution in the Islamic empire”—tidak ada tradisi persekusi agama dalam imperium Islam (McMillan London Limited, 1991, hlm. 44).

BACA JUGA:  12 Peserta Asal Banggai Ikuti Ujian Profesi Advokat Serentak PERADI

Langkah selanjutnya adalah membongkar fakta bahwa KBC berasas sekularisme—yakni menjauhkan generasi dari aturan agama dan menjadikan akal manusia sebagai sumber hukum. Padahal, dalam Islam, sekularisme adalah ide sesat. Islam menetapkan bahwa kurikulum harus berlandaskan akidah Islam, bukan pada nilai-nilai buatan manusia. Akidah adalah fondasi hidup seorang Muslim, termasuk dalam bernegara. Negara wajib menjaga akidah rakyatnya, salah satunya melalui pendidikan yang berbasis Islam.

Jika akidah umat kuat, mereka akan taat sepenuhnya kepada syariat Allah. Sistem pendidikan Islam adalah benteng bagi umat dari kerusakan moral dan perbuatan maksiat. Pendidikan Islam bukan hanya penuh kelembutan dan kasih sayang, tetapi juga memiliki karakter istimewa yang menjadikannya unggul atas peradaban mana pun.

Dengan izin Allah, peradaban Islam akan kembali menjadi pemimpin dunia.

Wallahu a’lam. (*)