BeritaNewsOpini

Kenaikan Harga Beras Bikin Rakyat Menjerit

1039
×

Kenaikan Harga Beras Bikin Rakyat Menjerit

Sebarkan artikel ini

Oleh: Siti Fatima (Aktivis Dakwah)

Harga beras kembali melonjak di sejumlah daerah. Fenomena ini menimbulkan sorotan tajam, terlebih ketika pemerintah mengklaim bahwa stok dan produksi beras dalam negeri masih melimpah.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), terjadi kenaikan harga beras di berbagai wilayah pada minggu kedua Juni 2025. Tercatat sebanyak 133 kabupaten/kota mengalami kenaikan, meningkat dari minggu pertama Juni yang mencatat 119 kabupaten/kota.

Menurut pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, harga beras medium telah lama berada di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) secara nasional. Hal yang sama juga terjadi pada beras premium (sumber: bisnis.com).

Sejumlah pihak menilai bahwa lonjakan harga ini tidak masuk akal. Ketidaknormalan tersebut diduga kuat sebagai indikasi terganggunya rantai distribusi beras, yang berujung pada kenaikan harga di pasaran (sumber: Harian Jogja).

BACA JUGA:  Mahasiswa IPMANAPANDODE Sorong Raya Gelar Makan Bersama untuk Menandai Duka Tiga Malam

Situasi ini diperburuk oleh kebijakan pemerintah yang mewajibkan Bulog menyerap gabah atau beras dari petani, meski kualitasnya rendah (sumber: Tempo.com). Kebijakan tersebut justru menciptakan penumpukan stok di gudang Bulog, yang menghambat suplai beras ke pasar, dan menyebabkan harga melonjak.

Pengelolaan Pangan Berpihak pada Pasar

Kebijakan pengelolaan pangan saat ini cenderung lebih mengutamakan kepentingan pasar dan segelintir elit, ketimbang kesejahteraan rakyat. Produksi dan distribusi pangan dikendalikan oleh logika keuntungan, bukan atas dasar keadilan atau pemenuhan kebutuhan masyarakat. Akibatnya, distribusi pangan menjadi tidak merata dan rawan dimanipulasi oleh spekulan. Negara pun sering kali bersikap pasif, menyerahkan semuanya pada mekanisme pasar.

Kondisi ini mencerminkan peran negara yang lebih sebagai fasilitator kepentingan pemilik modal daripada pelindung rakyat dari gejolak harga. Dalam sistem kapitalisme, akses terhadap pangan sangat bergantung pada kemampuan membeli, bukan pada kebutuhan pokok. Maka, rakyat kecil selalu menjadi korban utama dari ketidakstabilan harga yang tak menentu.

BACA JUGA:  12 Peserta Asal Banggai Ikuti Ujian Profesi Advokat Serentak PERADI

Islam Menjadikan Pangan Tanggung Jawab Negara

Dalam Islam, pangan bukan sekadar komoditas yang diperdagangkan untuk mencari keuntungan. Pangan adalah kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi oleh negara. Negara bertanggung jawab penuh dalam mengelola produksi, distribusi, hingga cadangan pangan demi kesejahteraan rakyat.

Islam juga melarang praktik penimbunan (ihtikar), karena hal tersebut dapat menimbulkan kelangkaan dan kenaikan harga yang tidak wajar. Rasulullah Saw. bersabda:
“Barang siapa menimbun makanan (dengan maksud menaikkan harga dan merugikan masyarakat), maka ia berdosa.” (HR. Muslim)

Dengan pengelolaan yang adil dan sistematis, Islam menjamin stabilitas harga dan kelancaran distribusi. Rakyat, terutama yang miskin, tetap dapat mengakses kebutuhan pokok mereka tanpa kesulitan.

BACA JUGA:  Biadab, Seorang Sopir di Luwuk Utara Tega Setubuhi dan Jual Anak Bawah Umur 

Tanggung jawab negara terhadap kebutuhan rakyat ditegaskan dalam sabda Nabi Muhammad Saw.:
“Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa seorang pemimpin dalam Islam tidak boleh lepas tangan dalam urusan rakyatnya, termasuk dalam pemenuhan kebutuhan pokok seperti pangan.

Islam memang melarang penetapan harga secara langsung oleh negara. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw. ketika menolak permintaan untuk menetapkan harga:
“Sesungguhnya Allah-lah yang menentukan harga, yang menahan, yang melapangkan, dan yang memberi rezeki.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Dengan demikian, kestabilan harga dalam Islam bukan dicapai melalui kontrol buatan, melainkan dengan sistem ekonomi yang adil, transparan, dan jauh dari praktik curang seperti monopoli atau penimbunan. (*)