NewsOpini

Abolisi untuk Lembong dan Amnesti Bagi Hasto: Angin Perubahan dari Istana

1979
×

Abolisi untuk Lembong dan Amnesti Bagi Hasto: Angin Perubahan dari Istana

Sebarkan artikel ini

Oleh: Dr. Sutrisno K Djawa SE., MM., (Rektor Unismuh Luwuk)

Langkah awal pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto mengejutkan sekaligus menyejukkan. Keputusan memberi abolisi kepada Thomas Lembong, serta amnesti kepada Hasto Kristianto  menandai awal yang tidak biasa dalam tradisi kekuasaan di Indonesia: sebuah politik yang memulihkan, bukan membalas.

Di tengah atmosfer politik yang sejak 2014 terus terbelah, manuver ini dapat dibaca sebagai “wind of change”, hembusan angin segar yang membawa arah baru dalam pendekatan kekuasaan. Ini bukan hanya soal hukum, tetapi soal arah moral dan politik dari seorang presiden terpilih yang ingin menunjukkan bahwa kekuasaan bisa dipakai untuk merangkul, bukan menyingkirkan.

Antara Hukum dan Rekonsiliasi

Abolisi yang diberikan kepada Thomas Lembong, mantan Kepala BKPM sekaligus tokoh teknokrat yang dekat dengan kubu lawan politik, menjadi penanda bahwa pemerintahan baru ingin membuka lembaran baru tanpa prasangka politik. Lembong bukan sosok kriminal, melainkan bagian dari elite intelektual reformis yang bisa menjadi aset bangsa jika diberi ruang.

BACA JUGA:  12 Peserta Asal Banggai Ikuti Ujian Profesi Advokat Serentak PERADI

Begitu pula dengan amnesti bagi Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP yang sempat terseret dalam konflik hukum di tengah tahun politik. Amnesti ini diberikan atas dasar prinsip keadilan restoratif, maka pemerintah menunjukkan bahwa politik balas dendam tidak menjadi bagian dari kamus kekuasaan Prabowo.

Secara konstitusional, abolisi dan amnesti adalah hak prerogatif presiden yang diatur dalam Pasal 14 UUD 1945, dengan pertimbangan Mahkamah Agung atau DPR. Namun secara politis, keduanya adalah simbol kekuasaan yang menyejukkan, kekuasaan yang digunakan untuk menyelesaikan dendam, bukan memperpanjang luka.

Kekuatan Simbolik

Apa yang dilakukan Prabowo di awal pemerintahannya mengingatkan pada langkah Nelson Mandela di Afrika Selatan, yang memilih rekonsiliasi ketimbang pembalasan setelah naik sebagai presiden. Prabowo, dengan latar belakang militer dan reputasi keras, justru menunjukkan sisi negarawan: berani memaafkan, dan membuka pintu politik lintas kubu.

BACA JUGA:  Biadab, Seorang Sopir di Luwuk Utara Tega Setubuhi dan Jual Anak Bawah Umur 

Di tengah masyarakat yang lelah oleh polarisasi, tindakan ini memberi harapan bahwa lima tahun ke depan tidak akan diwarnai politik adu domba, tetapi kerja bersama untuk membangun Indonesia.

Namun, langkah seperti ini tentu tidak bebas risiko. Publik akan menguji motifnya: Apakah ini murni untuk persatuan, atau bagian dari “deal politik”? Apakah proses hukum yang telah berjalan dihentikan demi kepentingan politik, atau karena memang tidak berdasar?

Untuk itu, transparansi adalah kunci. Pemerintah harus menjelaskan dasar pertimbangan abolisi dan amnesti secara terbuka, agar kepercayaan publik tetap terjaga. Apalagi, jika keputusan ini melibatkan tokoh-tokoh sentral partai politik, sensitivitas publik akan semakin tinggi.

BACA JUGA:  Mahasiswa IPMANAPANDODE Sorong Raya Gelar Makan Bersama untuk Menandai Duka Tiga Malam

Menuju Politik yang Dewasa

Kalau keputusan ini betul murni untuk rekonsiliasi , maka Prabowo akan tercatat sebagai pemimpin yang mengawali masa jabatannya dengan pendekatan inklusif dan memulihkan.

Ia tidak hanya menjadi simbol kemenangan elektoral, tetapi juga presiden pemersatu yang mengobati luka demokrasi.

Dengan memberikan tempat bagi pihak lawan untuk tetap berkontribusi, Prabowo sesungguhnya sedang menguji kematangan demokrasi kita sendiri. Apakah kita siap menjalani politik sebagai arena kolaborasi, bukan konfrontasi?

Abolisi dan amnesti ini mungkin hanya langkah kecil dalam struktur hukum, tetapi dampaknya bisa sangat besar dalam membentuk narasi pemerintahan lima tahun ke depan.

Dan mungkin, dari sinilah angin perubahan benar-benar berembus dari Istana. Apakah angin perubahan dari istana akan sampai juga ke daerah yang sesudah pilkada serentak terjadi polarisasi? Wallahualam fiisawab. (*)