NewsOpini

Krisis Regenerasi? Menelisik Ulang Pola Perkaderan HMI di Era Milenial

858
×

Krisis Regenerasi? Menelisik Ulang Pola Perkaderan HMI di Era Milenial

Sebarkan artikel ini

Oleh: ARLIN LA ILI

Di tengah pesatnya arus perubahan zaman dan digitalisasi yang kian melaju, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan eksistensinya, terutama dalam hal regenerasi kader. Banyak pihak mulai mempertanyakan: apakah sistem perkaderan HMI hari ini masih relevan dengan karakter generasi milenial dan Gen Z?

Sistem perkaderan HMI yang dikenal ketat, berbasis ideologi keislaman dan keindonesiaan, selama puluhan tahun telah melahirkan tokoh-tokoh besar di negeri ini. Namun, dinamika sosial dan kultural yang berubah cepat menuntut metode dan pendekatan baru yang lebih adaptif terhadap zaman.

Perubahan Karakter Kader

Generasi milenial dan Gen Z adalah generasi yang lahir dan tumbuh di era teknologi informasi. Mereka lebih kritis, independen, dan cenderung mencari ruang aktualisasi yang cepat dan fleksibel. Hal ini sering kali berbenturan dengan pola perkaderan HMI yang dianggap terlalu formal, rigid, dan kadang kurang responsif terhadap dinamika kekinian.

BACA JUGA:  Mahasiswa IPMANAPANDODE Sorong Raya Gelar Makan Bersama untuk Menandai Duka Tiga Malam

Menurut beberapa kader aktif, sistem perkaderan formal seperti Basic Training (LK 1) hingga Intermediate Training (LK 2) kerap kali hanya dijadikan formalitas administratif untuk “naik jenjang”, bukan sebagai ruang pembentukan ideologis secara utuh. Di sisi lain, diskusi-diskusi ideologis yang dulu menjadi nadi utama HMI, kini mulai tergeser oleh aktivitas pragmatis dan pencapaian jabatan struktural internal.

Krisis Minat dan Konsistensi

Masalah lain yang muncul adalah menurunnya minat mahasiswa untuk bergabung dan bertahan dalam organisasi. Banyak yang bergabung hanya karena dorongan eksternal atau sekadar ingin “mencoba”, bukan karena panggilan ideologis. Hal ini diperparah dengan tidak adanya sistem pembinaan berkelanjutan yang mampu menjawab kebutuhan intelektual dan spiritual kader baru.

BACA JUGA:  Persik Kintom & Dynamites FC Amankan Tiket Terakhir ke Semifinal Piala Hari Pahlawan U-17 2025

“Dulu, kader HMI bangga dengan prosesnya. Sekarang, banyak yang hanya ingin hasil instan,” ujar Ahmad, salah satu alumni HMI Cabang Jakarta. Ia menambahkan bahwa kaderisasi bukan hanya tentang pelatihan formal, tetapi soal menanamkan nilai dan karakter yang kuat melalui contoh dan keteladanan.

Adaptasi atau Stagnasi

Beberapa cabang HMI sudah mulai mencoba metode perkaderan hybrid—menggabungkan pertemuan fisik dan digital—untuk menjangkau lebih banyak calon kader dan memperluas diskusi secara daring. Namun, upaya ini masih bersifat sporadis dan belum menjadi kebijakan nasional organisasi.

Pengamat gerakan mahasiswa, Dr. Rina Wahyuni, menyebut bahwa organisasi sekelas HMI seharusnya mampu menjadi pionir dalam reformasi sistem kaderisasi. “Regenerasi bukan hanya tentang menggantikan posisi, tapi tentang memastikan nilai-nilai HMI tetap hidup di kepala dan hati kader barunya,” ujarnya.

BACA JUGA:  Kades Tirta Sari Serahkan Sertifikat Elsimil di Hari Bahagia Indriani dan Indrawan

Perlu Evaluasi dan Inovasi

Kini, saatnya HMI melakukan refleksi mendalam: apakah sistem perkaderan yang ada masih mampu menjawab tantangan zaman? Perlu ada evaluasi menyeluruh, terutama terhadap metode, konten, dan orientasi perkaderan. Nilai-nilai dasar HMI—keislaman, keindonesiaan, keilmuan—harus tetap menjadi pijakan, namun dibungkus dengan pendekatan yang lebih kontekstual.

Krisis regenerasi bukanlah akhir dari perjalanan. Justru, ini menjadi momentum untuk membangun kembali sistem kaderisasi yang lebih dinamis, inklusif, dan adaptif. HMI tidak hanya harus hadir sebagai organisasi mahasiswa, tetapi juga sebagai ruang pembentukan pemimpin masa depan yang mampu membaca zaman dan menjawab tantangannya. (*)