Oleh: Siti Fatima (Aktivis Dakwah)
Setahun sudah genosida di Gaza berlangsung. Perang yang tidak berperikemanusiaan ini telah meninggalkan dampak mendalam bagi warga Palestina. Salah satu dampak paling menyedihkan adalah krisis pangan yang semakin parah.
Menurut Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA), lebih dari dua juta penduduk Gaza kini bergantung pada dapur amal yang hanya mampu menyediakan makanan untuk satu juta orang setiap hari (spiritofaqsa.or.id). Makanan yang tersedia pun sangat terbatas—hanya berupa nasi atau pasta tanpa sayuran segar, apalagi daging. Program distribusi pangan lainnya telah terhenti akibat kekurangan pasokan. Di pasar-pasar Gaza, harga makanan melambung tinggi, stok langka, dan makanan segar hampir tidak tersedia. Bantuan kemanusiaan kini menjadi satu-satunya sumber makanan bagi penduduk Gaza.
Hani Almadhoun, salah satu pendiri Gaza Soup Kitchen, mengungkapkan bahwa persediaan makanan di dapurnya hanya cukup untuk tiga minggu ke depan (arabnews.pk). Akibat krisis ini, sebagian warga Gaza bahkan terpaksa mengonsumsi daging kura-kura untuk mencukupi kebutuhan protein. Majida Qana, warga Gaza, menyebutkan bahwa anak-anak dibujuk agar mau memakan daging tersebut, meski sebagian menolaknya.
Krisis tidak hanya melanda makanan, tetapi juga air. Warga Palestina harus mengantre panjang hanya untuk mendapatkan air bersih dari truk pengangkut. Menurut Omar Shatat, seorang pejabat perusahaan air setempat, penduduk hanya mendapat jatah air sekitar 6–7 liter per hari (kompas.com). Gambaran ini menunjukkan betapa mengerikannya situasi kemanusiaan di Gaza saat ini.
Seruan Jihad dan Ketidakpedulian Dunia Islam
Melihat penderitaan ini, Sekretaris Jenderal Persatuan Cendekiawan Muslim Internasional (IUMS), Ali al-Qaradaghi, menyerukan kepada negara-negara Muslim untuk segera turun tangan secara militer, ekonomi, dan politik demi menghentikan genosida yang sedang berlangsung (4/4). Ia juga mengecam sikap diam para pemimpin Arab dan dunia Islam yang memilih bungkam di tengah penderitaan Gaza.
Sudah saatnya umat Islam menyadari bahwa solusi yang hakiki bukanlah diplomasi yang selama ini hanya menjadi permainan politik, tetapi jihad fi sabilillah. Dalam Islam, jihad merupakan kewajiban (fardu ‘ain) ketika kaum Muslim diserang, sebagaimana ditegaskan oleh Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Asy-Syakhsiyyah al-Islamiyyah Jilid 2. Dalam konteks Palestina, tanggung jawab jihad bukan hanya bagi warga setempat, tetapi juga bagi penguasa negeri-negeri Muslim di sekitarnya.
Firman Allah SWT:
“Jika mereka meminta pertolongan kepada kalian dalam (urusan pembelaan) agama, maka kalian wajib memberikan pertolongan.”
(TQS. Al-Anfal: 72)
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Para penguasa Arab menutup perbatasan, mencegah masuknya pengungsi Gaza, bahkan membuka pelabuhan dan wilayah udaranya bagi kepentingan militer Amerika Serikat dan perdagangan Israel.
Solusi Hakiki: Persatuan Umat dan Kepemimpinan Islam
Penderitaan warga Gaza adalah persoalan besar yang tidak akan terselesaikan tanpa kekuatan pelindung umat. Kelembagaan internasional seperti PBB, Liga Arab, dan OKI nyatanya tidak berdaya menghadapi kebrutalan Zionis Israel.
Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya imam (khalifah) adalah perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.”
(HR. Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa pemimpin umat adalah pelindung yang mencegah musuh menyerang, menjaga keutuhan umat, dan menerapkan syariat Islam.
Dengan demikian, penderitaan di Gaza maupun di tempat lain tidak akan pernah terselesaikan tanpa tegaknya kepemimpinan Islam yang mempersatukan umat, menerapkan syariat, dan menegakkan jihad untuk melindungi kaum Muslim dan membebaskan Palestina dari penjajahan Zionis. (*)




