NewsOpini

Ketika Pelecehan Tidak Lagi Tabu

1415
×

Ketika Pelecehan Tidak Lagi Tabu

Sebarkan artikel ini

Oleh: Febiola (Aktivis Muslimah)

Seorang guru Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan (PJOK) di sebuah sekolah dasar di Kecamatan Doreng, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), dilaporkan melakukan tindakan bejat terhadap delapan siswi yang merupakan anak didiknya sendiri. Aksi keji ini bahkan telah berlangsung sejak para korban masih duduk di bangku kelas 1 SD. Para korban berusia antara 8 hingga 13 tahun. (trito.id)

Tak hanya di NTT, pada awal Maret 2025, kasus serupa juga mencuat di SMK PGRI 5 Jakarta, Kalideres. Sebanyak 40 siswi mengaku menjadi korban pelecehan seksual oleh seorang guru Bimbingan Konseling berinisial O (62). Kasus ini terbongkar setelah para siswa melakukan aksi demonstrasi untuk menuntut keadilan.

Ironisnya, dunia pendidikan yang semestinya menjadi tempat pembentukan karakter dan moral, justru menjadi ladang terjadinya kejahatan seksual. Fenomena ini tak lagi bisa dipandang sebagai kesalahan oknum semata, melainkan sudah menjadi persoalan sistemik.

Sistem kehidupan saat ini yang berlandaskan pada demokrasi sekuler—yakni memisahkan agama dari kehidupan—telah menumbuhkan nilai-nilai kebebasan tanpa batas. Agama hanya dianggap sebagai urusan pribadi, bukan sebagai standar dalam mengatur kehidupan sosial, masyarakat, bahkan negara. Maka tidak mengherankan, ketika halal dan haram tidak lagi menjadi tolok ukur dalam berperilaku.

BACA JUGA:  Tim Tuan Rumah GMC Gori-gori dan Pamsi Sinorang Raih Kemenangan di Penyisihan Grup

Peningkatan kasus pelecehan seksual tidak lepas dari minimnya keimanan, serta masifnya konten yang merangsang hawa nafsu melalui media massa dan digital. Semua ini memperkuat lingkungan yang permisif terhadap perilaku menyimpang, bahkan dalam institusi pendidikan.

Di sekolah, pelajaran agama seringkali hanya menjadi pelengkap, bukan sebagai fondasi utama. Lingkungan pergaulan yang bebas dan kurang pengawasan pun menjadi faktor pembentuk individu yang lemah dari segi pemikiran, mental, dan tidak memiliki kesadaran menjaga kehormatan diri maupun orang lain.

Sementara itu, negara hanya berfokus pada pendekatan hukum berbasis Hak Asasi Manusia (HAM), tanpa menyentuh akar permasalahan. Akibatnya, sanksi hukum sering tidak menimbulkan efek jera, dan kasus serupa terus berulang, merusak mental generasi bangsa.

BACA JUGA:  Bencana Sumatra: Bukti Nyata Bahaya Perusakan Alam dalam Sistem Kapitalisme

Berbeda dengan sistem Islam yang diterapkan secara kaffah (menyeluruh), Islam memiliki mekanisme jelas dalam mencegah dan menangani kejahatan seksual. Islam membangun ketakwaan individu sejak dini, lingkungan masyarakat yang saling menjaga, serta peran negara yang tegas dalam menerapkan hukum-hukum syariat.

Dalam sistem pendidikan Islam, pelajaran agama bukan hanya materi tambahan, melainkan landasan utama seluruh proses pembelajaran. Para guru dituntut memiliki akhlak mulia karena mereka adalah teladan bagi siswa. Media pun dikontrol agar tidak memuat konten yang merusak moral, melainkan mendukung dakwah dan membangun pola pikir Islami.

Individu dalam sistem Islam tumbuh dengan keimanan yang kuat. Mereka meyakini bahwa setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Seorang guru yang bertakwa akan fokus membina generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat dalam spiritual dan moral.

BACA JUGA:  Persik Kintom & Dynamites FC Amankan Tiket Terakhir ke Semifinal Piala Hari Pahlawan U-17 2025

Islam juga mengatur sistem pergaulan antara laki-laki dan perempuan, membatasi interaksi dalam batas syariat dan hanya pada kegiatan tertentu seperti pendidikan, pasar, atau pelayanan kesehatan. Perempuan diwajibkan menutup aurat dengan sempurna, karena dorongan seksual seringkali dipicu oleh rangsangan visual.

Negara dalam sistem Islam akan memberikan sanksi yang tegas terhadap pelaku kekerasan seksual. Jika pelaku pemerkosaan telah menikah, hukumannya adalah rajam hingga mati. Jika belum menikah, maka dicambuk 100 kali dan diasingkan selama setahun. Sanksi ini bertujuan sebagai pencegahan (zawajir) dan penebus (jawabir) atas dosa yang dilakukan.

Inilah bukti bahwa sistem Islam kaffah mampu menciptakan lingkungan yang bersih dari kekerasan seksual, termasuk di lingkup pendidikan. Selama sistem kehidupan tidak berbasis Islam, maka berbagai bentuk penyimpangan akan terus berulang. Solusi hakiki hanya dapat diwujudkan melalui penerapan Islam secara menyeluruh dalam masyarakat. (*)