NasionalNewsOpini

#Pindah Aja Dulu! Sebuah Ilusi Kesejahteraan

960
×

#Pindah Aja Dulu! Sebuah Ilusi Kesejahteraan

Sebarkan artikel ini

(Susci Utari, Aktivis Muslimah Banggai Laut)

Belum lama ini, warganet dihebohkan dengan kemunculan tagar #PindahAjaDulu di berbagai platform media sosial, khususnya di X (Twitter). Tagar ini mencerminkan kekecewaan dan kekhawatiran masyarakat terhadap kondisi negeri, yang dianggap semakin sulit memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Ajakan untuk pindah ke negara lain kini menjadi tren yang kerap menyita perhatian publik. Keinginan mencari kesejahteraan di luar negeri, baik melalui beasiswa, pendidikan, pekerjaan, maupun gaji yang lebih layak, menjadi impian banyak orang yang merasa sulit mendapatkannya di tanah air.

Fenomena ini merupakan bentuk “Brain Drain”, yaitu perpindahan individu-individu berpotensi tinggi ke negara lain karena merasa tidak dapat mengembangkan diri di negerinya sendiri. Faktor pemicunya beragam, mulai dari kesenjangan ekonomi, pendidikan, sosial, hingga ketidakpastian masa depan.

Berdasarkan data Direktorat Imigrasi Kemenkumham, 3.912 WNI berusia 25-35 tahun memilih tinggal di Singapura pada 2019 (kanimbatam.kemenkumham.go.id). Hal ini menjadi bukti bahwa semakin banyak generasi muda yang mencari peluang hidup lebih baik di luar negeri.

BACA JUGA:  Proyek Peningkatan SPAM Jaringan Perpipaan Landonan Bebeau Rampung 100 Persen

Mengapa Masyarakat Ingin Pindah?

Dalam kehidupan, manusia memiliki kebutuhan dasar yang harus terpenuhi, seperti sandang, pangan, dan papan. Ketika negara tidak mampu menjamin hal tersebut, muncul kegelisahan, kecemasan, bahkan keputusasaan yang mendorong masyarakat mencari penghidupan lebih layak di luar negeri.

Beberapa faktor yang melatarbelakangi keinginan masyarakat untuk pindah antara lain: Mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, Sulitnya lapangan pekerjaan dan rendahnya upah, dan Sistem administrasi yang rumit dan tidak berpihak pada rakyat.

Seharusnya, fenomena #PindahAjaDulu menjadi peringatan bagi pemerintah bahwa negara ini tidak sedang baik-baik saja. Ketakutan dan kecemasan masyarakat terhadap masa depan semakin nyata, menandakan ada masalah serius yang harus segera diselesaikan.

Negara yang Tutup Mata

Alih-alih memberikan solusi, pemerintah justru merespons dengan pernyataan yang kurang berempati. Salah satunya datang dari Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer, yang mengatakan:

“Mau kabur, kabur aja lah. Kalau perlu jangan balik lagi.” (nasional.kompas.com, 17-02-2025)

Pernyataan ini semakin menegaskan adanya kerenggangan antara negara dan rakyatnya. Harapan agar pemerintah mendukung kesejahteraan justru berujung kekecewaan. Masyarakat yang ingin mencari kehidupan lebih baik malah dianggap tidak nasionalis.

BACA JUGA:  Kabar Gembira, Unismuh Luwuk Akan Buka Program S1 Teknologi Informasi, Ilmu Gizi dan S2 Pendidikan Agama Islam 

Sementara itu, kesenjangan sosial dan ekonomi semakin terasa. Kebijakan yang seharusnya berpihak pada rakyat justru lebih banyak menguntungkan segelintir elite yang memiliki kekuasaan dan akses terhadap sumber daya.

Sistem kapitalisme sekularisme yang diterapkan saat ini hanya menguntungkan kelompok tertentu, sementara rakyat kecil semakin terpinggirkan. Kesejahteraan menjadi privilege segelintir orang, bukan hak seluruh warga negara.

Islam, Solusi Tuntas bagi Kesejahteraan

Berbeda dengan kapitalisme yang hanya menguntungkan segelintir pihak, Islam menawarkan solusi menyeluruh untuk kesejahteraan masyarakat. Dalam sistem Islam, negara memiliki tanggung jawab penuh dalam menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.

Sejarah mencatat bagaimana Khalifah Umar bin Abdul Aziz berhasil menciptakan pemerintahan yang adil dan sejahtera. Beliau:

Menindak pejabat yang korup dan tidak adil

Mengontrol distribusi lahan dan sumber daya secara merata

Mengurangi pajak agar tidak memberatkan rakyat

Memanfaatkan pos pemasukan dari zakat, fai, kharaj, jizyah, dan ghanimah

BACA JUGA:  Hajar Twister FKM 3-0, Tim Voli PJKR 24 Unismuh Luwuk Jawara FKIP Cup 2025

Hasilnya, di masa pemerintahannya, tidak ada lagi orang yang menerima zakat karena semua rakyat sudah hidup sejahtera. Sistem ini membuktikan bahwa Islam mampu menghapuskan kesenjangan sosial dan menciptakan kesejahteraan yang merata.

Dalam sistem Islam, pemimpin adalah pelayan rakyat, bukan penguasa yang hanya mengejar kepentingan pribadi. Pemimpin dalam Islam tidak akan memberikan pernyataan yang menyakiti rakyatnya, melainkan senantiasa berusaha memenuhi kebutuhan dan melindungi mereka.

Penutup

Fenomena #PindahAjaDulu dan Brain Drain adalah bukti nyata bahwa sistem kapitalisme sekularisme gagal menjamin kesejahteraan rakyatnya. Sistem ini hanya memperdalam kesenjangan sosial, membuat rakyat kecil semakin terpinggirkan, dan melahirkan ketidakadilan di berbagai sektor.

Sebaliknya, Islam hadir sebagai solusi menyeluruh bagi permasalahan ini. Dengan sistem yang berbasis syariat Allah SWT, kesejahteraan dan keadilan bukanlah fatamorgana, melainkan sesuatu yang nyata dan bisa dirasakan oleh seluruh rakyat.

Sudah saatnya umat menyadari bahwa kesejahteraan sejati hanya bisa terwujud dengan penerapan Islam secara menyeluruh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Wallahu a’lam bish-shawab. (*)