Oleh: Putri Yulinar Ibrahim, S.M (Aktivis Komunitas Sahabat Hijrah)
Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan negara dalam sistem Kapitalisme. Pajak naik hal biasa dalam sistem ini, warga menyambut tahun yang baru serta menyambut pula kenaikkan pajak. Pajak adalah satu keniscayaan bagi Kapitalisme, demikian pula kenaikan besaran pajak dan beragam jenis pungutan pajak.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan sinyal kuat bahwa, tarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang diamanatkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) naik menjadi 12% pada Januari 2025 akan tetap dilaksanakan.
Penegasan ini ia sampaikan saat rapat kerja dengan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Komisi XI DPR. Sri Mulyani menjawab pertanyaan para anggota DPRtentang kepastian kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 2025. (cnbcindonesia.com)
Berbagai penolakkan keputusan kenaikkan PPN 12 % nyatanya tidak memengaruhi pemerintah untuk membatalkan kenaikkan pajak, suara rakyat sangatlah lemah disaat menolak kebijakan dzolim yang di buat sistem saat ini.
Di media sosial ramai di warganet yang mengunggah lambang garuda latar biru. Hal ini ditujukan sebagai aksi penolakan terhadap kenaikan PPN menjadi 12 persen dari semula 11 persen.
“Menarik pajak tanpa timbal balik untuk rakyat adalah sebuah kejahatan. Jangan minta pajak besar kalau belum becus melayani rakyat. Tolak PPN 12 persen,” tulis gambar latar biru tersebut. (kumparan.com)
Kenaikan PPN ini tentu akan memiliki dampak yang cukup signifikan bagi masyarakat. Bisa dari segi biaya hidup, inflasi, daya beli, hingga pengeluaran sektor usaha.
Pajak menjadi sumber pendapatan Negara
Pajak didefinisikan sebagai kontribusi wajib setiap warga negara yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang. Untuk itu, warga negara akan mendapatkan kompensasi secara tidak langsung dalam bentuk hasil-hasil pembangunan dan pembiayaan untuk kepentingan umum yang menjadi prioritas negara. Ketika pajak menjadi sumber pendapatan negara, maka hakekatnya rakyat membiayai sendiri kebutuhannya akan berbagai layanan yang dibutuhkan.
Sejumlah dalih diungkapkan pemerintah untuk menaikkan PPN menjadi 12 persen. Pertama, untuk meningkatkan pendapatan negara. Kedua, mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Ketiga, untuk menyesuaikan dengan standar internasional. (tirto.id)
Negara tidak berperan sebagai pengurus rakyat. Dan dalam Sistem Kapitalisme Negara hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator, melayani kepentingan para pemilik modal. Rakyat biasa akan terabaikan. Rakyat menjadi sasaran empuk berbagai pungutan negara yang bersifat wajib sebagai konsekuensi posisinya sebagai warga negara.
Dalam sistem kapitalisme yang menerapkan kebijakan ekonomi liberal, pajak menjadi bagian dari kebijakan fiskal. Kebijakan ini dianggap dapat membantu negara mencapai kestabilan ekonomi dan bisnis karena mampu menyesuaikan pengeluaran negara dengan pendapatan yang diterima dari pajak. (cermati[dot]com, 22-11-2019). Oleh sebab itu, cara mudah mendapatkan dana segar untuk menutupi defisit anggaran adalah dengan memainkan pajak. Wajar jika negara mempropagandakan dengan gigih kewajiban membayar pajak karena perekonomiannya memang bertumpu pada pajak.
Bahkan, hutang Negara menjadi seolah tanggung jawab rakyat, sehingga rakyat harus menerima kebijakkan kenaikan pajak yang terus naik. Berbagai lapisan masyarakat, mulai buruh sampai akademisi menolak kebijakan kenaikan PPN. Ada berbagai alasan yang disampaikan, termasuk kenaikan pajak akan menurunkan inovasi teknologi. Namun pemerintah tetap menaikkan PPN per 1 Januari 2025 meski banyak yang menandatangani petisi menolak kenaikan PPN.
Pungutan pajak jelas menyengsarakan, karena pungutan itu tidak memandang kondisi rakyat. Mirisnya banyak kebijakan pajak yang memberikan keringanan pada para pengusaha, dengan alasan untuk meningkatkan investasi pengusaha bermodal besar. Asumsinya investasi akan membuka lapangan kerja dan bermanfaat untuk rakyat. Padahal faktanya tidak seperti itu.
Dalam sistem kapitalisme, sebagaimana yang dianut negeri ini, pajak memang sudah menjadi andalan utama pemasukan negara. Padahal, negeri ini kaya akan SDA yang jika dikelola dengan baik, dapat digunakan untuk kepentingan rakyatnya. Masalahnya, negeri ini telah salah dalam mengelola SDA, malah diserahkan kepada asing. Alhasil, alih-alih memberi kemudahan bagi rakyatnya, yang terjadi justru rakyat yang hidupnya sudah kembang kempis, dipaksa merogoh saku lebih dalam.
Pajak dalam sistem Islam
Tidak dimungkiri bahwa dalam Islam pun dikenal adanya pajak, yakni dengan istilah dharibah. Islam memandang pajak sebagai alternatif terakhir sumber pendapatan Negara, itu pun hanya dalam kondisi tertentu, dan hanya pada kalangan tertentu.
Pajak dalam Islam bukan untuk menekan pertumbuhan, bukan pula menghalangi orang kaya atau menambah pendapatan negara. Pajak diambil semata untuk membiayai kebutuhan yang ditetapkan syariat. Dalam sistem Islam, tidak ada penetapan pajak tidak langsung, PPN, pajak barang mewah, pajak hiburan, pajak jual beli, dan berbagai jenis pajak lainnya.
Dalam sistem Islam, pajak merupakan alternatif terakhir ketika kondisi keuangan negara sedang genting. Adapun sumber pendapatan utama negara menjadi hak kaum muslim dan masuk ke baitulmal ada sembilan bagian, yaitu fai (anfal, ganimah, khumus), jizyah, kharaj, ‘usyur, harta milik umum yang dilindungi negara, harta haram pejabat dan pegawai negara, khumus rikaz dan tambang, harta orang yang tidak mempunyai ahli waris, serta harta orang murtad. Inilah pendapatan tetap negara, ada atau tidaknya kebutuhan.
Dengan pengelolaan keuangan ala APBN syariah, negara memiliki pos penerimaan yang sangat banyak. Seperti, pemanfaatan pos harta kepemilikan umum. Jika SDA dikelola sendiri oleh negara, tidak diserahkan pada asing dan swasta, tentu hasil yang kembali kepada negara dapat digunakan secara optimal, bahkan berlebih. Negara mampu mensejahterakan rakyat dengan SDA di kelola oleh negara sendiri.
Kita tahu bersama bahwa Indonesia memiliki kekayaan alam yang jumlahnya terbesar di dunia, seperti hutan terluas, gas alam, batu bara, emas, nikel, dan sebagainya. Dengan kekayaan alam ini, negara mampu berdiri sendiri tanpa harus terus bergantung pada hutang, investasi, ataupun pajak yang di bebankan kepada rakyat.
Dengan ini jelas, Islam memiliki sumber pendapatan yang banyak dan beragam. Dan dengan pengaturan sistem politik dan ekonomi islam, negara yang menerapkan sistem Islam akan mampu menjamin kesejahteraan rakyat individu per individu. Pajak juga hanya diwajibkan untuk muslim, laki-laki, dan yang kaya. Berbeda dengan fakta hari ini, semua orang (kaya maupun miskin) wajib membayar pajak dan berlaku seumur hidup.
Penguatan keuangan negara tidak lain dengan tunduk pada ketentuan syariat, yakni pengelolaan keuangan (penerimaan dan belanjanya) harus sesuai dengan syariat. Allah Swt. telah memberikan pengaturan yang terbaik dan memastikan bahwa semua kekayaan alam pasti cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia di dunia, selama manusia patuh pada aturan-Nya. Berlepas diri dari pengaturannya justru akan membuat kehidupan susah dan sempit, bahkan mengundang azab-Nya.
Islam juga menetapkan penguasa sebagai rain dan junnah, dan mengharamkan penguasa untuk menyentuh harta rakyat. Tugas penguasa hanya pembantu bagi rakyat, maka kewajiban penguasa mengelola harta rakyat untuk dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk berbagai fasilitas umum dan layanan yang akan memudahkan hidup rakyat.




