BeritaDaerahNews

PPN Merangkak Naik, Ekonomi Rakyat Makin Tercekik?

490
×

PPN Merangkak Naik, Ekonomi Rakyat Makin Tercekik?

Sebarkan artikel ini

Oleh: Fitri Hadun, S.Pd

Masyarakat dikejutkan dengan wacana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tarif PPN akan dinaikkan menjadi 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025. Langkah ini, menurut pemerintah, bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara guna mendukung pembiayaan pembangunan serta mengurangi ketergantungan pada utang.

Namun, apakah kebijakan ini sejalan dengan kesejahteraan rakyat? Apakah kenaikan pajak menjadi solusi terbaik bagi stabilitas APBN, atau justru menambah beban ekonomi rakyat?

Dampak Kenaikan PPN: Memberatkan Rakyat

PPN adalah pajak yang dikenakan pada setiap tahap produksi dan distribusi barang atau jasa yang dikonsumsi di dalam negeri, dan beban akhirnya ditanggung oleh masyarakat sebagai konsumen akhir. Dengan tarif yang direncanakan naik menjadi 12 persen, Indonesia akan menyamai Filipina sebagai negara dengan PPN tertinggi di ASEAN, melampaui negara-negara lain yang umumnya menetapkan tarif di bawah angka tersebut.

Di saat rakyat tengah berjuang menghadapi kondisi ekonomi yang sulit, kebijakan ini justru berpotensi memperburuk daya beli masyarakat. Beban tambahan pada kebutuhan pokok dan layanan dasar akibat kenaikan PPN akan semakin menekan perekonomian rakyat, terutama kelompok menengah ke bawah.

BACA JUGA:  Resmi Bergulir, Rektor Buka Turnamen Futsal Antar Pelajar FKIP Unismuh Cup 2025

Menurut data Kementerian Keuangan, penerimaan pajak dari PPN mencapai Rp57,76 triliun pada Januari 2024, menjadikannya kontributor terbesar kedua dalam pendapatan pajak setelah pajak penghasilan (PPh). Angka ini menunjukkan bahwa PPN sudah memberikan sumbangsih signifikan terhadap penerimaan negara. Lantas, apakah penyesuaian tarif menjadi satu-satunya pilihan?

Kritik terhadap Sistem Ekonomi Berbasis Pajak

Kenaikan PPN mencerminkan kelemahan sistem ekonomi kapitalis yang menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Sistem ini terus menempatkan beban besar pada masyarakat, meskipun Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah. Ironisnya, SDA tersebut justru banyak dikuasai oleh pihak asing atau dikelola secara tidak optimal, sehingga hasilnya tidak sepenuhnya dinikmati oleh rakyat.

Dalam sistem ini, pajak menjadi solusi utama untuk menutupi defisit anggaran dan melunasi utang. Akibatnya, negara terus mendorong rakyat membayar pajak, bahkan memunculkan stigma bahwa kepatuhan pajak adalah tolok ukur warga negara yang baik. Padahal, jika SDA dikelola dengan benar dan berdasarkan kepentingan rakyat, negara tidak perlu membebani masyarakat dengan pajak tinggi.

BACA JUGA:  Sekda Banggai Kepulauan Buka Kegiatan Kompetensi Profiling ASN

Islam: Solusi Alternatif bagi Ekonomi yang Berkeadilan

Sebagai alternatif, sistem ekonomi Islam menawarkan solusi yang lebih adil. Dalam Islam, pajak bukanlah sumber utama pendapatan negara, melainkan opsi terakhir yang hanya dipungut dari laki-laki Muslim kaya apabila kas negara kosong. Islam mengatur berbagai sumber pemasukan negara yang tidak membebani rakyat, seperti pengelolaan harta milik umum (SDA), zakat, fai, kharaj, dan jizyah.

Islam juga menetapkan bahwa harta milik umum seperti tambang, air, energi, dan sumber daya alam lainnya harus dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat. Dalam hadis Rasulullah saw. disebutkan, “Manusia berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api (energi).” (HR Abu Dawud). Pengelolaan ini menjamin kesejahteraan rakyat secara langsung maupun tidak langsung, tanpa harus membebani mereka dengan pajak yang mencekik.

BACA JUGA:  Geger! Wanita 55 Tahun Ditemukan Tak Bernyawa di Jalan Perkebunan Toili Jaya

Menurut berbagai analisis, potensi penerimaan dari SDA Indonesia dapat mencapai lebih dari Rp5.510 triliun jika dikelola secara optimal. Angka ini bahkan melebihi kebutuhan APBN yang hanya sekitar Rp3.000 triliun. Dengan memanfaatkan SDA sebagai sumber utama penerimaan, negara dapat menghilangkan ketergantungan pada pajak dan utang.

Kesimpulan: Beralih ke Sistem yang Menjamin Kesejahteraan

Kebijakan kenaikan PPN menjadi bukti nyata bahwa sistem ekonomi kapitalisme lebih mengutamakan stabilitas anggaran daripada kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, sudah saatnya kita bermuhasabah dan mempertimbangkan sistem ekonomi Islam yang menjamin kesejahteraan rakyat tanpa membebani mereka.

Islam tidak hanya menawarkan solusi fiskal, tetapi juga visi keadilan ekonomi yang komprehensif. Dengan mengelola kekayaan alam sesuai syariat Islam, kesejahteraan rakyat akan tercapai tanpa kezaliman. Kini, menjadi tugas kita bersama untuk mengkaji dan mengimplementasikan sistem ini demi kemaslahatan umat. (*)