Banggaikece.id- Burung Maleo, menjadi spesies yang terancam punah. Populasinya semakin berkurang dan merupakan satwa endemik di Sulawesi.
Maleo memiliki bulu hitam dengan warna kuning dekat mata. Keberadaan Burung Maleo di Sulawesi, sebagai simbol keanekaragaman hayati yang subur di Indonesia.
Menjadi salah satu satwa endemik yang terancam punah, Burung Maleo mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2018, Maleo resmi dilindungi.
Di Kabupaten Banggai, upaya pelestarian Burung Maleo terus dilakukan untuk mencegah kepunahan. Tidak hanya pemerintah, perusahaan yang berinvestasi di tanah Babasalan (Banggai, Balantak, Saluan dan Andio) ini juga berperan aktif.
PT Donggi Senoro LNG (DSLNG) yang merupakan perusahaan swasta gas alam cair Indonesia menjadi salah satu perusahaan yang paling getol dalam upaya melestarikan Maleo.
External Communication Supervisor PT DSLNG, Rahmat Azis kepada media ini, menjelaskan upaya yang telah dilakukan DSLNG dalam melestarikan Maleo.
“Upaya yang telah dilakukan DSLNG dalam melestarikan Maleo yaitu dengan mendirikan fasilitas Konservasi Eksitu Maleo pertama di dunia sejak 5 Juni 2013, bekerjasama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tengah,” ungkap Rahmat Azis, Senin 18 November 2024.
Tidak hanya mendirikan pusat Konservasi Eksitu Maleo, DSLNG juga beberapa kali melakukan aksi penanaman pohon kemiri di Suaka Margasatwa Bakiriang, yang menjadi kawasan habitat burung Maleo.
Selain menjadikan hutan lebih hijau dan lestari, buah dari pohon kemiri menjadi sumber makanan utama satwa endemik Maleo.

Luar biasanya, upaya pelestarian yang dilakukan PT DSLNG ini menginspirasi sejumlah pihak lain untuk melakukan hal serupa melalui Konservasi Eksitu Maleo.
Fasilitas Maleo Center
Di Maleo Center DSLNG ini, dilengkapi sejumlah fasilitas. Mulai dari ruang inkubasi yang berisi inkubator dan sejumlah kandang untuk anakan Maleo.
Kemudian, di pusat konservasi ini terdapat juga kandang perkawinan, kandang untuk Maleo dewasa, dan kandang habituasi sebelum Maleo dilepasliarkan ke Suaka Margasatwa Bakiriang, Kecamatan Batui Selatan.
“Saat ini ada 22 ekor Maleo dewasa di kandang-kandang (Konservasi Eksitu Maleo) dan ada 16 telur di inkubator,” jelasnya.
Fasilitas Maleo Center kata Rahmat, selain untuk konservasi juga terbuka untuk masyarakat yang ingin berkunjung guna mempelajari tentang burung Maleo. Yang tujuannya, tak lain untuk mengedukasi masyarakat dalam melestarikan Maleo.
Hingga saat ini, PT DSLNG telah berhasil melepasliarkan 127 anakan Maleo ke habitatnya di Suaka Margasatwa Bakiriang.
Tantangan
Dalam pelestarian Eksitu Maleo, DSLNG memiliki tantangan yakni kurangnya tenaga dokter hewan yang khusus menangani hewan liar yang dilindungi di daerah untuk melakukan monitoring kesehatan Maleo.
Kurangnya tenaga dokter hewan khusus, DSLNG pun bekerjasama dengan BKSDA Sulawesi Tengah, dalam hal penyediaan tim kesehatan untuk pemantauan Maleo.
“Namun hal ini bukan berarti Maleo di fasilitas konservasi kita selama ini tidak terjaga kesehatannya. Hanya saja memang diperlukan penanganan yang lebih spesifik untuk menjaga kesehatan Maleo,” ucap Rahmat Azis.

Dalam upaya pelestarian Maleo di tanah Babasalan, DSLNG juga eksis dengan kegiatan-kegiatan lain seperti berpartisipasi aktif dalam pameran yang digelar Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Banggai belum lama ini.
“Dalam pameran, kami melakukan edukasi dan kampanye tentang pentingnya pelestarian Maleo kepada masyarakat,” tuturnya.
Memberikan edukasi dalam kegiatan pameran, masyarakat yang berkunjung begitu antusias untuk mengetahui informasi seputar pelestarian Maleo yang dilakukan DSLNG.
“Salah satu kampanye pelestarian Maleo juga kami lakukan melalui lomba menulis bagi jurnalis dalam rangka memperingati Hari Maleo Sedunia 21 November 2024 ini,” kata Rahmat Azis.
Menyambut Hari Maleo Sedunia, Rahmat Azis berharap dalam momentum ini, satwa endemik itu bisa terus lestari dan populasinya di alam liar terus meningkat serta bisa keluar dari daftar satwa yang terancam punah. (*)




