Oleh: Supriadi Lawani (Penulis adalah petani pisang)
Beberapa bulan terakhir dimasa tahapan kampanye pemilihan Bupati dan wakil Bupati Banggai kita melihat begitu banyak fenomena politik yang terjadi dan fenomena itu adalah paradoks. Kenapa peristiwa itu adalah paradoks karena secara hukum peristiwa itu dilarang namun tidak mampu ditindak secara hukum oleh lembaga yang berwenang atas itu.
Paradoks politik itu dapat kita liat dengan banyaknya peristiwa oknum Aparatur Sipil Negara (PNS maupun PPPK) dan oknum kepala desa yang secara tidak langsung atau sembunyi – sembunyi menjadi tim atau paling tidak semacam tim pemenangan salasatu calon Bupati dan wakil Bupati Banggai.
ASN maupun Kepala Desa oleh undang – undang dan peraturan tidak dibenarkan untuk terlibat menjadi tim meskipun itu sembunyi – sembunyi atau semacam tim pemenangan kandidat atau calon Bupati dan wakil Bupati tertentu. Birokrasi sudah seharusnya netral dan tidak dijadikan alat untuk menjalankan agenda politik tertentu, baik dalam bentuk kampanye, mobilisasi dukungan, maupun pengawasan terhadap kelompok lawan politik.
Namun banyaknya fakta-fakta keterlibatan oknum ASN dan kepala desa yang menjadi pendukung calon tertentu tidak berbanding lurus dengan penegakan hukum. Banyak yang dilaporkan namun tidak dapat dihukum dengan alasan tidak cukup bukti. Inilah yang saya sebut sebagai paradoks diatas.
Namun tulisan ini tidak bermaksud untuk berbicara terkait penegakan hukum pemilihan Bupati dan wakil Bupati, tulisan pendek ini bermaksud mendiskusikan fakta – fakta tersebut dengan apa yang saya istilahkan sebagai brutalitas politik.
Tulisan pendek ini berangkat dari teori Teori Mobilisasi Sumber Daya (Resource Mobilization Theory). Teori ini digunakan untuk memahami bagaimana aktor politik menggunakan sumber daya (ekonomi, sosial, dan kekuasaan) untuk melancarkan tindakan secara brutal.
Teori Mobilisasi Sumber Daya (Resource Mobilization Theory) dikembangkan oleh Charles Tilly. Teori ini berfokus pada bagaimana kelompok politik menggunakan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuannya termasuk dalam konteks kekerasan atau brutalitas politik. Dalam teorinya, Tilly menyoroti bahwa kekerasan politik, bukanlah hasil dari spontanitas atau ketidakpuasan semata, melainkan dari upaya yang terorganisasi dengan baik untuk memanfaatkan sumber daya demi melancarkan aksi politik.
Charles Tilly membahas kekerasan politik dalam bukunya “The Politics of Collective Violence” (2003), di mana ia menjelaskan bahwa kekerasan politik adalah bagian dari interaksi antara negara dan kelompok sosial. Tilly mengidentifikasi beberapa bentuk kekerasan politik yang terkait dengan mobilisasi sumber daya.
Untuk tujuan tulisan pendek ini saya melihat dalam konteks kabupaten Banggai sumberdaya yang dominan digunakan oleh kelompok tertentu atau yang sedang berkuasa adalah apa yang diistilahkan sebagai Kekerasan Institusional. Ketika politisi yang sedang berkuasa menggunakan kekuasaannya untuk menekan pesaingnya melalui kekuatan dan struktur birokrasi.
Brutalitas Politik dengan Melibatkan Birokrasi.
Brutalitas politik yang melibatkan birokrasi (ASN dan Kepala Desa) merujuk pada penggunaan kekuasaan politik secara sewenang-wenang dengan memanfaatkan aparatur negara untuk tujuan-tujuan tertentu, tujuannya jelas adalah untuk mempertahankan kekuasaan. Fenomena ini dapat melibatkan bujukan dan janji jabatan serta tekanan terhadap aparatur sipil negara (ASN) dan Kepala Desa, hingga penggunaan birokrasi untuk mengintimidasi atau menekan lawan politik dan menakut-nakuti rakyat kecil.
Kekerasan politik tidak selalu bersifat fisik namun yang sering digunakan adalah kekerasan struktural dan relasi kuasa, misalnya melalui ancaman mutasi dan pencopotan jabatan bagi ASN dan pemecatan bagi kepala desa yang dianggap tidak loyal atau patuh terhadap keinginan politik penguasa.
Penggunaan cara – cara kekerasan seperti ini khususnya di kabupaten Banggai jelas bagi saya adalah upaya yang sangat brutal yang dipertontonkan secara telanjang oleh kelompok politik tertentu untuk mempertahankan kekuasaan dan dampak yang dihasilkan dalam kehidupan berbangsa dan berdemokrasi juga akan sangat buruk.
Dampak Brutalitas Politik terhadap Birokrasi
Hilangnya Netralitas Birokrasi
karena dijadikan alat politik jelas seperti yang saya katakan diatas adalah suatu pengrusakan sistem. Tindakan tersebut merusak prinsip-prinsip dasar pemerintahan yang baik (good governance), seperti netralitas, efisiensi, dan akuntabilitas.
Tindakan seperti itu juga membuat terjadinya apa yang disebut sebagai erosi kepercayaan publik. Publik kehilangan kepercayaan pada institusi negara, karena birokrasi dipandang lebih melayani kepentingan elit politik daripada masyarakat luas.
Dampak selanjutnya adalah terjadinya apa yang kita kenal sebagai korupsi dan nepotisme. Ketika birokrasi digunakan untuk melayani kepentingan politik, praktik-praktik korupsi dan nepotisme cenderung meningkat karena jabatan diberikan berdasarkan loyalitas politik, bukan kompetensi. Sehingga sistem meritokrasi akan sangat susah diwujudkan dalam kehidupan pemerintahan khususnya di kabupaten Banggai.
Upaya Mengatasi Brutalitas Politik dalam Birokrasi
Tidak ada upaya utama dalam mengatasi brutalitas politik dalam birokrasi selain penegakan hukum. Undang-undang yang menjamin netralitas birokrasi, seperti larangan ASN dan Kepala Desa terlibat dalam politik praktis, harus ditegakkan secara konsisten.
Namun kedepannya perlu juga ada tindakan pengawasan oleh lembaga yang sifatnya independen. Lembaga independen ini diharapkan berfungsi mengawasi hubungan antara politik dan birokrasi untuk memastikan bahwa kedua entitas tersebut berjalan sesuai fungsinya masing-masing.
Upaya lain yang tidak kalah pentingnya adalah peningkatan kesadaran ASN dan Kepala Desa. ASN dan Kepala Desa perlu diberikan pemahaman mendalam tentang pentingnya netralitas dan profesionalisme dalam menjalankan tugas mereka.
Brutalitas politik yang melibatkan birokrasi menciptakan sistem pemerintahan yang tidak sehat, merusak institusi, dan merugikan masyarakat luas.
Oleh karena itu, penting untuk menjaga birokrasi tetap netral dan profesional sebagai salah satu pilar utama demokrasi yang sehat. Untuk itu diakhir tulisan pendek ini saya berharap agar masyarakat secara luas perlu terlibat dalam mengawasi, melaporkan dan mendesak ke pihak yang berwenang apabila didepan mata terjadi praktek praktek yang merusak ini. Bagi saya hanya dengan keterlibatan langsung rakyat secara luas fenomena yang merusak ini bisa kita hentikan dan perbaiki bersama. (*)