Penulis : Fitria A. Sulila, A.Md.Kom
Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) yang ke-40, telah diselenggarakan di Jayapura, Papua, pada selasa 23 juli 2024 yang lalu. Tema yang diangkat, sama seperti tema tahun lalu. Yaitu, ‘Anak Terlindungi, Indonesia Maju’.
Namun, tema tahun ini dibagi menjadi enam sub tema yaitu Anak Cerdas Berinternet Sehat, Suara Anak Membangun Bangsa, Pancasila di Hati Anak Indonesia, Anak Pelopor dan Pelapor, Anak Merdeka dari Kekerasan, Perkawinan Anak, Pekerja, dan Digital Parenting.
Juga berbagai macam cara memperingati Hari Anak Nasional di sekolah SD, SMP, dan SMA misalnya adalah melalui upacara, menyelenggarakan lomba, pentas seni, serta ajang bakti sosial.
Sejak disahkannya undang-undang kesejahteraan anak nomor empat tahun 1979, pemerintah terus berupaya meningkatkan kesejahteraan anak dan terus mengoptimalkannya. Salah satunya dengan mendorong kepedulian semua pihak lewat penyelenggaraan peringatan Hari Anak Nasional.
Namun, peringatan Hari Anak Nasional hanya sebatas seremonial belaka. Karena faktanya, problematika anak hari ini semakin kompleks. Banyak anak yang tidak tercukupi kebutuhan hidupnya. Mulai dari kebutuhan pangan yang bergizi hingga pendidikan yang berkualitas. Banyak anak yang terjerat judol, anak yang kecanduan gadget hingga berakhlak buruk. Padahal peringatan HAN menjadi stimulasi dalam menggabungkan nilai-nilai dasar kepada seluruh anak Indonesia. Di antaranya yaitu akhlak mulia.
Tentang stunting, sebagaimana diketahui angka prevalensi stunting di Indonesia sepanjang 2023 tercatat 21,5 %, hanya turun 0,1 % dari tahun sebelumnya yaitu 21,6 %. Adapun angka putus sekolah tahun 2022-2023 diberbagai tingkat pendidikan mencapai 76.834 orang. Dengan rincian jumlah siswa putus sekolah tingkat SD mencapai 40.623 orang, tingkat SMP 13.716 orang, tingkat SMA 10.091 orang dan SMK 12.404 orang. (https://sehatnegerikukemkes.go.id)
Tentang kekerasan, lingkungan anak saat ini jauh dari kata “Terlindungi”, angka kekerasan pada anak terus meningkat. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) melaporkan, kasus sepanjang 2023, mencapai 24.158 kasus. Dari jumlah tersebut kasus yang paling banyak adalah kekerasan seksual yaitu 10. 932 kasus. Pelaku kekerasan terhadap anak, justru berasal dari orang-orang terdekat. Termasuk ayah, ibu, atau kerabat serumah. Rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung bagi anak, kini menjadi tempat yang menakutkan.
Tentang akhlak, munculnya kepribadian anak yang rusak, baik pemikiran serta perilakunya. Anak saat ini menjadi pelaku bullying dan kekerasan, pecandu narkoba, pergaulan bebas, miras, pelaku pornografi bahkan kecanduan judi online. Pemerintah mencatat jumlah pemain judi online di Indonesia sekitar 2% adalah anak di bawah usia 10 tahun yang berjumlah 80 ribu orang, sedangkan usia antara 10-20 tahun berjumlah 440 ribu orang.
Bahkan baru-baru ini viral di media sosial joget-joget dengan gerakan tak layak yang dilakukan oleh beberapa siswi, apalagi kejadian tersebut terjadi di lingkungan sekolah.
Sebenarnya berbagai program telah dibuat dan dijalankan oleh pemerintah untuk menyelesaikan persoalan anak. Di antaranya adalah peningkatan peran ibu dan keluarga dalam pendidikan ataupun pengasuhan anak. Menyediakan layanan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus, merintis Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA) hingga Negara Ramah Anak.
Namun faktanya, anak semakin jauh dari kesejahteraan, keamanan, dan berakhlak mulia, tentu saja upaya-upaya yang dilakukan pemerintah bisa dikatakan tidak membuahkan hasil. Karena, solusi yang diberikan oleh pemerintah dalam menyelesaikan persoalan anak sama sekali tidak menyentuh akar persoalan.
Jika dicermati, akar permasalahannya adalah sekularisme, yang memisahkan agama dari kehidupan, artinya paham ini mengabaikan agama dalam mengatur kehidupan. Sistem sekularisme mengagungkan prinsip kebebasan, sehingga membentuk tingkah laku masyarakat yang buruk. Melakukan perbuatan karena dorongan hawa nafsu, halal dan haram diabaikan. Alhasil, muncullah manusia yang tega melakukan kekerasan terhadap anak, baik fisik maupun seksual.
Ditambah lagi, sekularisme dijadikan asas kurikulum pendidikan saat ini. Akibatnya, lahirlah generasi-generasi yang liberal, yang bebas berkarya dengan cara apa saja walaupun hal itu menabrak rel syariat, tidak memandang halal-haram dan ridho Allah.
Sekularisme-liberalisme terbukti telah menjauhkan keluarga dari peran dan fungsi utamanya dalam membina anak. Para ibu juga disibukkan dengan aktivitas bekerja, sehingga abai dalam tugas dan tanggung jawab sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya. Tidak terpenuhinya berbagai kebutuhan anak, mulai dari kebutuhan pokok, pendidikan maupun kesehatan, termasuk tidak menjaga anak dari pengaruh negatif gadget.
Berbeda dengan Islam, Islam memandang bahwa anak adalah generasi penerus peradaban. Islam mewajibkan negara untuk menjamin pemenuhan kebutuhan anak dalam berbagai aspek kehidupan. Islam juga mewujudkan fungsi dan peran keluarga yang optimal dalam mendidik anak. Orang tua akan memahami tugas dan tanggungjawabnya. Orang tua akan mendidik anak-anaknya dengan pendidikan agama Islam. Tujuannya adalah agar anak menjadi generasi yang shalih atau mempunyai kepribadian Islam. Yang menjadikan pedoman bagi tingkah lakunya adalah halal dan haram.
Di sisi lain, negara juga akan menerapkan sistem pendidikan Islam untuk membentuk generasi berkepribadian Islam, yakni memiliki pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah) yang sesuai dengan Islam. Pendidikan Islam akan menjauhkan peserta didik dari pemikiran yang rusak seperti sekularisme, liberalisme dan sebagainya. (*)